“Wahai, deretan angka dan rotasi jarum
penunjuk, jangan biarkan aku menjadi lupa di tengah pacuanmu yang memburu..”
Secangkir
kopi. Terang saja ada banyak sekali jenis minuman kopi di dunia, tentunya
dengan rasa yang berbeda-beda. Mulai dari cappucino,
latte, espresso, macchiato dan
entah apa lagi. Dan secangkir kopi itu yang menyatukan kami. Perkenalan bermula
ketika kami berada dalam sebuah institusi pendidikan yang sama. Berada di
lingkungan baru, konon waktu itu aku tidak memiliki teman. Ah ya, dunia dan
segala isinya. Terkadang kau harus memberikan jalan kepada orang lain yang
ingin lewat, atau sekedar memberikan tempat duduk pada seseorang disebelahmu.
Dan apa itu? Hubungan antar manusia? Salah satu keniscayaan kehidupan yang
menjadi kelemahanku. Dan yah, dia satu-satunya kawan yang tidak menjadi sebagai
orang asing dalam pertemuan pertama kami.
Yogyakarta
adalah takdir dimana aku membuka mata. Sementara sebelumnya aku melambaikan
punggung pada Lampung. Dia berasal dari daerah yang berbeda. Sebuah pulau di
penghujung pulau Jawa bagian timur. Pertemanan berlanjut mengantarkan kami pada
hari-hari dimana kami sering bersama. Kebersamaan di kampus. Kebersamaan
menolak menghamba pada dunia yang menengadah angkuh. Meski akhirnya pilihan
hidup kemudian mengantarkan kami pada jalan yang berbeda. Ah, Yogyakarta
hanyalah tempat pertemuan.
Aku
ingat betul semua memori tentang itu. Sekedar menghabiskan malam di riuhnya
kesibukan kota. Duduk-duduk. Menyapa hedonisme keramaian malam. Di lorong
trotoar Stasiun Tugu. Sastra, sosial, filsafat. Apapun namanya itu, terkadang
bangku taman dan trotoar harus rela kami duduki berjam-jam lantaran kami yang
berdiskusi atau mengobrol remeh temeh (oh kawan, meski terkadang beberapa hal
yang tidak aku mengerti.) Jelas –dalam beberapa hal, kami berada dalam
pandangan yang berbeda. Namun isi batok kepalanya memiliki gagasan-gagasan yang
luar-biasa. Aku mengaguminya. Bagaimana perspektifnya dalam memandang spektrum
kehidupan. Ada kesamaan hal yang tidak membedakan kami, manusia dengan
kegelisahaan batinnya yang melahirkan pencarian, pencariannya masing-masing.
“Dan
apa sesungguhnya yang kau cari?”
“Entahlah,
seperti Ibrahim dalam perjalanannya, mungkin...”
Aku
tidak tau seberapa sering manusia melakukan monolog pada umumnya. Bentuk
monolog itu bisa menjadi dialektika dengan diri sendiri, introspeksi, atau
pertanyaan yang dilengkapi pertentangan batin. Dan pada saat itulah pertanyaan
muncul tentang,
“Yang
mana diri kita sesungguhnya ketika kita berbicara pada diri sendiri?”
Entahlah!
Tak harus ku jawab itu. Aku hanya butuh meneguk kopi ku pelan-pelan. Tidak
apa-apa, bahwa terkadang pahit itu harus dinikmati. Ah, aku menyukai kopi
karena aku menyukainya. Aku bukanlah tipe manusia yang peka dalam
menginterpretasikan sesuatu, apalagi jika harus memaknai arti filosofis di
dalamnya. Tapi dengan secangkir kopi, aku bisa melihat diriku. Aku mulai
mengenali diriku. Secangkir kopi. Secangkir kopi yang selalu melarutkanku dalam
sunyi. Secangkir kopi yang melahirkan obrolan tentang semesta. Secangkir kopi
dan pencarian. Aku tenggelam dalam pertanyaan.
Sementara
malam semakin ramai. Dan seniman jalanan masih tetap menyanyikan syair-syair
lirih senandungnya. Pengemis meminta-minta di lampu-lampu merah. Pemabuk
menghayak botol di pojokan Malioboro. Pelacur bersolek.
“dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah, aku menangis
sepuas-puasnya”
(-Sapardi Djoko Damono)