Dalam
kalimat-kalimatnya kepadaku ia pernah berkata,
“Seperti
sebuah lomba lari, kita mungkin jauh tertinggal, tapi yang memulai start lebih dulu belum tentu lebih dulu
sampai garis finish, kawan. Kita
masih di perjalanan”.
“Hidup
tak perlu panjang, tapi ia harus dijalani semampu kita bisa”
Aku
tidak begitu mengerti apa yang dimaksudnya dengan “garis finish”. Mungkin baginya itu kata kiasan untuk mewakili kata
“target” atau “mimpi”, atau “sukses”, atau apalah itu. Tetapi aku malah
menginterpretasikannya sebagai “kematian”.
Ia
bicara tentang harapan, tentang semangat yang tak boleh redup, tentang
perlawanan yang tak boleh puput. Sebuah kalimat yang diucapkan kepadaku ketika
batu karang sempat menyandung langkahku, dan langkahku terhenti pada situasi
dimana jurang menganga dihadapanku, membuat tertinggal dari langkah-langkah
mereka yang semakin mendahuluiku tanpa memberi kesempatan untuk sekedar
menghela nafas.
Apakah
kita memang mengerti arti hidup? Dia yang mengatakan itu padaku, bahwa hidup
memang harus dijalani sesederhana itu.
Dia
tak pernah menjawab secara rinci. Hari-hari bersamanya kulewati bertahun-tahun
lalu. Fase dimana kami belajar mengepakkan sayap remaja yang coba beranjak.
Hari-hari masih belum sehitam sekarang. Masa putih abu-abu yang membosankan.
Lalu
kemudian muncul hari-hari dimana kami mengepakkan sayap di kota berbeda.
Menempuh jalannya masing-masing. Hanya waktu idul fitri atau libur semester
mempertemukan kami.
Sinar
mentari yang masuk melalui celah jendela kamar tingkat dua. Situasi sebuah ruangan
yang kerap jadi markas bersua kami. Sekedar bertamu. Saling sapa, duduk-duduk,
mencicipi khasnya kopi hitam yang diseduh olehnya. Saling tukar tanya. Kemudian
terlontar obrolan remeh-temeh dari seputar kuliah sampai Nietzsche, dari
sosial-masyarakat sampai kejamnya kehidupan yang kami tertawakan.
“Kita
tidak apa-apa, kawan” katanya seraya menyeruput kopi hitam yang tersaji di
depannya.
Namun
selintas, kulihat guratan-guratan wajahnya menyimpan kegelisahan.
Bicara
tentang hidup dan kehidupan adalah bicara tentang apa yang kau lakukan
untuknya. Alasan yang membuat dirimu diakui ke-eksistensian-nya dalam hidup dan
kehidupan ini. Tentang kontribusi. Tentang prestasi. Atau apalah itu. Karena
itu akan menjadi sebuah cerita di semesta ini. Maka sejarah mencatat, manusia
paling dikenal adalah mereka yang tegas memilih jalannya sendiri. Menjadi
Gandhi atau Hitler. Perbaikan atau kerusakan. Atau setidaknya harakiri serupa Ikarus. (Yah, di bawah
sana memang terlalu membosankan). Adalah hal yang sia-sia kau tak melakukan
apapun. Kau tak akan menjadi pengaruh bagi keberlangsungan umat manusia yang
mulia ini. Kau tak akan menjadi protagonis. Bahkan untuk ceritamu sendiri.
“Ck
ck, yaah. Kita memang tidak apa-apa, kawan...”