Sendiri.
Seperti biasa, ia seorang diri. Bahkan dalam keluarga dia selalu seorang diri.
Dia memang berbeda. Dia manusia yang menjunjung individualitas. Berkawan kepada
diri sendiri. Angin berlalu, matahari membakar, terserah saja.
Pejalanan
hidup adalah mozaik yang tak bisa diceritakan secara gamblang menjadi rangkaian
huruf. Hidup, sejatinya adalah kisah. Dan kisah memiliki alur sendiri. Memiliki
konflik dan heroisme masing-masing, pun tujuan yang tak seorang aktornya pun
tahu akan berhenti di titik mana. Karena hidup adalah cerita, cerita bisa
berubah-ubah. Seperti layaknya analogi murahan tentang roda yang berputar. Satu
hal yang pasti, anak periang itu tiba-tiba tumbuh menjadi manusia skeptis,
apatis, dan melankolis.
Hidup
kenyataannya adalah seorang diri. Masing-masing memainkan peranannya dalam
ceritanya sendiri. Sementara matahari dan gulita masih tetap bertukar posisi
pada setiap rotasi bumi. Dia masih melangkah. Melangkah saja. Pergi mencari.
Mencari tanpa tahu apa yang hilang? Ketika dunia terlalu sesak oleh deru debu
duniawi, dilihatnya hanyalah topeng-topeng kepalsuan. Ia pemberontak. Berontak
terhadap apapun.
Tak
ada yang benar-benar memahaminya. Bahkan ibunya sendiri, tak begitu mengerti
ia. Ia sadar, terkadang ada hal-hal yang tak dapat kau ungkapkan bahkan pada
keluargamu sendiri. Siapa hendak berbagi? Teman? Lupakan!
Hatinya,
walau begitu, memiliki negara yang teritori dan undang-undangnya tak dapat kau
invasi. Hidup adalah pencarian, begitu pikirnya. Tak sekedar menjalani, tapi
mencari. Ia menolak menjadi mesin, kewajibannya sebagai manusia adalah menjadi
manusia. Manusia pasti mencari. Mencari untuk menemukan. Dan lalu kemudian
memaksanya berangkat tanpa pretensi apapun untuk mengharapkan surga dan neraka
sebagai imbalan.
Lalu
pabrik mengepul, jam berdentang, roda berputar.
Ah,
ia rindu dirinya.