Aku
sedang duduk di sebuah emperan toko di dekat sebuah halte di pinggir jalan raya
ketika tiba-tiba mataku menangkap sebuah pemandangan menarik yang memaksaku
untuk memperhatikan lebih lama. Seorang laki-laki kira-kira berusia
empat-puluhan tahun berpenampilan dekil dan lusuh menari-nari di depanku, di jalan
raya di bawah rintikan air hujan yang sejak tadi sore tak henti-hentinya
menumpahkan tangisnya. Wajah lelaki itu tampak lebih tua dari yang kuperkirakan. Guratan-guratan wajahnya yang selintas menggambarkan garis-garis
kegelisahan tampak kaku dan tua. Tubuhnya yang bertelanjang dada dan hitam
akibat sengatan matahari basah kuyub diterjang hujan. Celananya yang mungkin
hanya satu-satunya itu compang-camping penuh robekan dan kotor bekas noda
debu-debu dan kotoran jalanan yang menjadi tempat tinggal satu-satunya selama
ini. Ia menari-nari sambil terus tertawa-tawa, seolah sedang menyambut turunnya
hujan.
Sesekali
wajahnya dihadapkan ke langit, dan tangannya yang kurus menengadah keatas
sambil tubuhnya berputar-putar. Mungkin dia senang hujan turun sore ini. Sudah
sekian lama langit tak pernah mencurahkan karunianya kepada kami, penduduk bumi
di kota ini. Sehingga membuat suhu udara kota yang disesaki polusi menjadi kian
panas. Belum lagi debu-debu jalanan yang beterbangan dihempas kendaraan yang
berlalu-lalang, pohon-pohon dan tanaman penghias jalanan menjadi layu dan
gersang. Tanah menjadi tandus dan kerontang. Namun sore ini, langit hendak
berbagi kebaikannya kepada kami, dan mencurahkan hujan yang membuat
manusia-manusia kota yang biasanya sibuk dalam hiruk-pikuknya selama ini kini
hanya bisa berdiam diri di sudut-sudut emperan toko, halte, dan ruko-ruko
mencari tempat perlindungan dari guyuran air hujan yang meluncur deras, tumpah
tak terbendung. Tetapi, aku tak melihat kebahagiaan manusia-manusia bumi dan menyambut
kebaikan yang diberikan oleh langit, kecuali lelaki yang terus saja menari-nari
ditengah jalan.
Di antara
mereka yang berteduh, lebih banyak yang terlihat menggerutu, dan mengumpat
turunnya hujan. Mungkin karena hujan menyebabkan mereka menjadi terjebak
diperjalanan, basah kuyub, dan membuat rencana atau pekerjaan-pekerjaan mereka
tertunda? Aku tak sungguh mengerti. Yang jelas, kini aku dan mereka terjebak
dalam derasnya rintikan hujan. Hujan yang mengirimkan tetesan-tetesan berkah
dari langit. Pun hujan yang bisa saja memberi kutukan murka kepada bumi. Kami
terdiam. Tak ada yang bersuara. Bahkan untuk sekedar bersenandung sambil
menunggu hujan reda. Dinginnya hujan membius jiwa kami untuk bungkam. Sehingga
tak terdengar lagi keluhan manusia-manusia itu. Suasana seperti ini membuat
kami larut dalam lamunan masing-masing. Sedangkan lelaki itu terus saja menari,
melakukan hal-hal aneh yang menandakan bahwa ia telah benar-benar kehilangan
kewarasannya. Sesekali ia menunjuk dan menertawakan kami yang masih terdiam dan
larut dalam lamunannya masing-masing. Entah apa yang ia tertawakan.
Tawanya
begitu misterius dan tak dapat kumaknai. Mungkin ia merindukan turunnya hujan.
Sehingga ia menjadi begitu bersemangat ketika akhirnya hujan turun dan
memberikan kebaikan. Aku bisa membayangkan kegembiraannya. Wajahnya yang
kemudian mendadak ceria, tubuh yang tak henti-henti menari.
"Sejenak dunia
menjadi hening, damai, dan tenang. Indah bukan? Tetapi, tetapi, ada apa dengan
wajah-wajah ini? Seperti ekspresi penyesalan. Seolah seperti menolak turunnya
hujan, dan menganggapnya adalah bencana yang dapat mengganggu aktivitas dan
kelangsungan mereka. Oh, manusia-manusia ini memang bodoh! tak pernah sedikit
saja mencintai dan menghargai ketenangan." Begitu mungkin pikirnya.
"Hahahaha..." Dia tertawa lepas. Aku mencoba menerka apa yang dipikirkan sel-sel
otak dalam kepalanya.
"Hujan
telah memberi momen terindah dimana kalian dapat berkumpul sejenak, menikmati
syahdunya suasana, sembari mengistirahatkan jiwa-jiwa kalian yang lelah akibat
terlalu sibuk dengan urusan-urusan kalian. Lihatlah hujan ini! Begitu damai dan
tentram. Memberi kebahagiaan pada makhluk-makhluk bumi. Menyuburkan tanah yang
semula tandus ditimpa kemarau, menyegarkan pohon-pohon dan tanaman yang kesegarannya
hilang digerogoti layu. Menyegarkan udara yang sebelumnya sesak dan panas.
Lihatlah hujan diluar! Memberikan nafas-nafas kehidupan seraya ketenteraman
suasana yang tak sempat kalian rasakan. Lalu, mengapa wajah kalian kusut? Ah,
aku benar-benar tak mengerti. Lihatlah aku yang bahagia menyambut hujan.
Lihatlah aku yang tidak lebih gila kalian."
Tarian dan tawa laki-laki
itu benar-benar misterius. Seakan-akan hendak mempertunjukkan dan menyampaikan
sesuatu kepada kami yang masih terdiam menunggu hujan reda.
Dan
kami masih larut dalam lamunannya masing-masing.
No comments:
Post a Comment