Aku
hafal betul bagaimana kesumatmu menjelma menjadi laknat
Katamu,
dalam bait-bait penghujung kalimat;
Jiwa
yang berontak adalah pengkhianat baiat, serupa ketakaburan Azazil menolak taat
Itu
setelah kau berpanjang-lebar tentang kemurnian hakikat
Di
antara malam, hujan dan keheningan berkarat,
Bisik-bisik
yang melayang perkara kiamat; terlontar sebagai jejadian filsafat
Aku
yang tak pernah cukup mengerti tentang alegori dogmatik
Atas
kalam puitik yang kau hakimi dengan pembenaran semantik
Engkau
bertitah harus, menjadikan semua warisan Ikarus menjelma petuah aksiomatik
Lupakan
Zarathustra, ketika kata tak mampu lagi merepresentasikan makna dalam detik
Ketika
estetika bahasa hanyalah interpretasi pragmatik
Demi
anggur Dionysian yang kita tenggak di penghabisan kesimpulan dialektik;
Aku
menyerah atas nubuat yang kau plagiat,
Bersimpuh
membayar upeti untuk jiwa yang tersesat
Mei 2015
No comments:
Post a Comment