Friday, January 15, 2016

Cermin



Alkisah. Dalam The Giver, ada dunia di mana manusia hidup dalam keseragaman. Sebuah utopia yang sama sekali tidak terdapat perbedaan, tidak ada perkelahian, tidak ada kebohongan, tidak ada warna, tidak ada ingatan, tidak ada emosi; bahkan tidak ada cinta dan rasa sakit. Mereka hidup dalam suatu konsep yang berpola begitu sistematis tanpa ada satu pun celah atau gesekan. Serupa robot yang diprogram untuk menjalani suatu tujuan, mereka hanya mengulang-ngulang hal yang sama setiap harinya. Mereka menerima suntikan serum anti-emosi sebagai dosis harian setiap paginya dan melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Manusia-manusia di sana memiliki profesi dan perannya sendiri. Semuanya bertujuan untuk pelayanan komunitas tersebut. Ada yang bertugas sebagai pilot, ada yang bertugas sebagai perawat bayi, dan seterusnya.  Bayi-bayi di dunia ini dilahirkan secara acak tanpa hubungan reproduksi sebagaimana suami-istri dalam sebuah keluarga. Intinya, mereka tinggal di dunia yang tidak memiliki inisiatif kemanusiaan.

Jonas, tokoh utama film ini, pada akhirnya sampai pada usia dewasa dimana ia akan diberikan tugas sesuai dengan kemampuannya. Dan pilihan tugas tersebut adalah sebagai Penjaga Kenangan. Penjaga kenangan adalah satu -satunya manusia yang boleh memiliki semua kenangan yang seharusnya diketahui oleh manusia. Ceritanya, setelah ratusan tahun berlalu, tak ada manusia yang mengingat kenangan indah maupun pahit kecuali penerima kenangan. Dan penerima kenangan adalah satu-satunya manusia yang memiliki kenangan di masa lalu agar dapat memberi nasehat pada para Tetua komunitas itu ketika dibutuhkan.

Keadaan mulai berubah ketika Jonas memulai masa latihan sebagai Penjaga Kenangan. Sang Pemberi (sebutan untuk Penjaga Kenangan sebelumnya),  menunjukan berbagai hal baru kepada Jonas. Jonas diperlihatkan hal-hal seperti warna, pengetahuan, dan seterusnya. Seperti mentransfer kenangan melalui kabel USB, Sang Pemberi memberikan kenangan masa lalu kepada Jonas melalui sentuhan tangannya.

Lalu, ketika “mengenang” gambaran-gambaran itu, Jonas mulai dapat merasa. Ketika “di-perkenang-kan” kenangan yang berupa gambaran tentang sepasang kekasih yang sedang menari, keluarga yang sedang berkumpul, dan anak-anak yang bermain, Jonas merasakan bahagia. Dan ketika diperlihatkan gambaran tentang unjuk rasa, perang, dan kejahatan, Jonas merasakan ketakutan.

Sampai suatu ketika Jonas dapat “merasakan” sesuatu kepada teman masa kecilnya, suatu perasaan yang selama ini tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun dalam masa-masa selanjutnya Jonas akhirnya mengerti bahwa bukan hanya rasa gembira yang ada, tetapi juga rasa sakit dan sedih.

Pada akhirnya, Jonas melihat sebuah fakta yang mengerikan di dunianya, dimana bayi-bayi yang tidak sesuai standar yang berlaku akan dibunuh begitu saja. Hal yang lebih menyedihkannya lagi adalah mereka yang melakukan pembunuhan tersebut tidak mengerti apa yang dia perbuat adalah “membunuh”, tetapi apa yang mereka sebut sebagai “melepaskan”. Dan kemudian, seperti layaknya sebuah film kebanyakan, berbekal pengetahuan dan keyakinannya terhadap kebenaran, sang tokoh utama memutuskan untuk mengubah dunianya dengan cara mengungkapkan kepalsuan yang selama ini disembunyikan oleh Tetua komunitas tersebut.

***

Dalam sumbangan pemikirannya, Lacan menganggap ketidaksadaran sebagai entitas yang memiliki struktur, seperti bahasa dan semiotika.  Linguistik, menurut Lacan, dianggap masuk akal dalam menjelaskan ketidaksadaran. Ketidaksadaran menurut Lacan adalah rangkaian penandaan. Ketidaksadaran mengkondensasi dirinya lalu melakukan pemindahan, hal ini dikaitkan dengan metafora dan kiasan. Lacan menyinggung tiga konsep penting, yaitu; kebutuhan, permintaan, dan hasrat. Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang nyata, yang imajiner, dan yang simbolik.

Yang nyata adalah dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang belum terbahasakan, yaitu; wilayah gelap yang tidak diketahui oleh manusia. Atau dengan kata lain, yang nyata adalah suatu wilayah psikis yang belum ada keterpisahan, tidak ada bahasa, tidak ada kehilangan. Ia merupakan suatu kondisi kesatuan dan kepemenuhan, yang intinya, tidak dapat dimediasi oleh bahasa. Selanjutnya, yang Imajiner adalah masa identifikasi diri. Menurut Lacan, fase ini bersinggungan dengan tingkatan selanjutnya, yaitu yang simbolik. Lacan menggambarkan sebuah ilustrasi dalam fase ini sebagai kondisi dimana seorang bayi yang melihat pantulan dirinya di cermin dan menyadari bahwa gambaran tersebut baik sebagai dirinya sendiri maupun bukan dirinya (hanya imaji yang terpantul).

Selanjutnya, tatanan simbolik, ditandai dengan adanya konsep hasrat. Simbolik juga menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek yang berbicara untuk menjadi “aku” dan berkata sebagai “aku” untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Ia merupakan kerangka impersonal yang berlaku dalam masyarakat, sebuah arena dimana setiap orang mengambil tempat di dalamnya. Tatanan simbolik merupakan ranah makna sosial, logika dan diferensiasi yang di terima --di dalam dan melalui itu, individu mulai menampilkan keinginan dan karenanya membentuk sebuah subjek manusiawi.

***

Dalam tingkatan simbolik, individu akan terjun dan terjebak dalam sebuah sistem simbolik. Sistem simbolik adalah realitas yang diungkapkan melalui bahasa. Di titik ini individu menyadari subjektivitasnya sebagai “aku”. Dan seiring dengan terintegrasinya manusia dengan bahasa, manusia hanya akan selalu merasakan kekurangan dan kehilangan. Artinya, manusia akan terus mencari apa yang ideal bagi dirinya. Ia akan mengidentifikasikan makna dan konsep secara terus menerus tanpa henti. Mengidentifikasi dan menemukan. Menemukan dan memaknai. Memaknai dan mengidentifikasi. Apa-apa yang didengar, dilihat dan dirasakan akan membentuk konsep simbolik di dalam kepala kita. Kemudian melahirkan makna baru lagi yang terselip dibalik simbol-simbol yang coba diidentifikasi oleh individu. Segala simbol adalah perkara semiotika. Dan segala yang semiotik hanya akan memproduksi penanda baru, tingkat pemaknaan baru, dan makna-makna baru. Terus menerus.

Secara metafor, sebelum Jonas dapat merasa dan memaknai, ia berada dalam tahapan dimana tidak ada jurang sama sekali terhadap apa yang kita sebut sebagai yang ideal. Tidak ada ukuran terhadap itu. Jonas hanya mengikuti pola, mengikuti pola, dan mengikuti pola. Tidak ada inisiatif kemanusiaan, tidak ada ego manusiawi. Jonas hanyalah sebuah robot yang tidak dapat memproduksi perasaan dan gambaran di dalam diri dan kepalanya tentang dan terhadap suatu hal. Dan semua berubah ketika dia menerima kenangan dari Sang Pemberi--yang secara simbolik, menyadari “keakuannya” sebagai subjek manusiawi yang dapat merasa dan menerka. Yang selanjutnya berubah menjadi individu yang berinisiatif, berkeinginan, dan berharap.

Seperti yang telah diceritakan di atas, setelah menerima semua kenangan masa lalu, Jonas merasakan suatu “perasaan” kepada teman masa kecilnya yang bernama Fiona. Sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia-manusia di komunitas itu. Sesuatu yang tidak terdefinisikan secara kolektif. Dan tidak memiliki makna yang bertingkat-tingkat, karena hanya Jonas yang dapat mengidentifikasi, memahami, dan memaknai “sesuatu” tersebut. Pada akhirnya, dia mengerti bahwa apa yang dia rasakan adalah cinta. Dan Jonas merasa sedih ketika Gabe (seorang bayi yang merupakan adik angkatnya yang diserahkan kepada keluarganya) hendak dibunuh oleh Tetua komunitas. Selanjutnya Jonas mati-matian berusaha menyelamatkan Gabe dari incaran orang-orang komunitas yang memburunya.  Di titik ini kita menyadari bahwa apa yang Jonas alami adalah bentuk dari afeksi dan simpati.

Tapi benarkah kesedihan dan kesenangan Jonas adalah entitas yang secara objektif bermakna sebagai entitas itu sendiri? Ataukah bentuk dari subjektivitas kemanusiaan yang dirasakan, dimaknai, dan dipahami secara personal oleh Jonas sendiri?

Saya ingat kata-kata seorang kawan, “ketika kita jatuh cinta, sebenarnya kita sedang mengagumi perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri kita.” Artinya, ketika kita jatuh cinta kepada seseorang, sesungguhnya kita bukanlah sedang mencintai seseorang itu. Tetapi justru mencintai diri kita sendiri yang mengalami perkembangan yang secara psikologis melalui tahapan ke arah sesuatu yang kita anggap ideal.

Saya justru lebih suka memaknai dengan pemahaman yang lain. Seperti bayi yang melihat bayangannya sendiri di cermin, seringkali kita melihat objek sebagai pantulan yang dibentuk oleh pikiran kita sendiri. Maka, ketika kita jatuh cinta kepada seseorang, kita hanya membentuk citra tentang dirinya di dalam kepala kita sebagai sesuatu yang ideal dan kemudian setengah mati mencintai citra tersebut, dan justru bukan pasangan kita sendiri sebagai objek yang utuh.

Serupa Jonas yang menangisi Gabe, kita seringkali menganggap kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan kita sebagai suatu ancaman. Kita membentuk premis-premis sedemikian rupa sebagai rujukan dan alasan yang kita akui dengan pembenaran subjektif bahwa apa yang terjadi adalah sesuatu yang layak untuk ditangisi. Dan serupa Jonas yang menangisi Gabe, kita meratapi kehilangan yang pada dasarnya adalah kita meratapi diri sendiri yang “merasa” kehilangan --karena premis-premis tertentu, dan justru bukan meratapi yang hilang itu sendiri.

Maka dalam bahasa yang sederhana; kesenangan dan kesedihan hanyalah produk dari egoisme masing-masing.



No comments:

Post a Comment