Alkisah. Dalam The Giver, ada dunia di mana manusia hidup dalam keseragaman. Sebuah
utopia yang sama sekali tidak terdapat perbedaan, tidak ada perkelahian, tidak
ada kebohongan, tidak ada warna, tidak ada ingatan, tidak ada emosi; bahkan
tidak ada cinta dan rasa sakit. Mereka hidup dalam suatu konsep yang berpola
begitu sistematis tanpa ada satu pun celah atau gesekan. Serupa robot yang diprogram
untuk menjalani suatu tujuan, mereka hanya mengulang-ngulang hal yang sama
setiap harinya. Mereka menerima suntikan serum anti-emosi sebagai dosis harian
setiap paginya dan melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Manusia-manusia di
sana memiliki profesi dan perannya sendiri. Semuanya bertujuan untuk pelayanan
komunitas tersebut. Ada yang bertugas sebagai pilot, ada yang bertugas sebagai
perawat bayi, dan seterusnya. Bayi-bayi
di dunia ini dilahirkan secara acak tanpa hubungan reproduksi sebagaimana suami-istri
dalam sebuah keluarga. Intinya, mereka tinggal di dunia yang tidak memiliki
inisiatif kemanusiaan.
Jonas, tokoh utama film ini, pada akhirnya sampai
pada usia dewasa dimana ia akan diberikan tugas sesuai dengan kemampuannya. Dan
pilihan tugas tersebut adalah sebagai Penjaga
Kenangan. Penjaga kenangan adalah satu -satunya manusia yang boleh memiliki
semua kenangan yang seharusnya diketahui oleh manusia. Ceritanya, setelah
ratusan tahun berlalu, tak ada manusia yang mengingat kenangan indah maupun pahit
kecuali penerima kenangan. Dan penerima kenangan adalah satu-satunya
manusia yang memiliki kenangan di masa lalu agar dapat memberi nasehat pada
para Tetua komunitas itu ketika
dibutuhkan.
Keadaan mulai berubah ketika Jonas memulai masa
latihan sebagai Penjaga Kenangan. Sang Pemberi (sebutan untuk Penjaga Kenangan sebelumnya), menunjukan berbagai hal baru kepada Jonas. Jonas
diperlihatkan hal-hal seperti warna, pengetahuan, dan seterusnya. Seperti
mentransfer kenangan melalui kabel USB, Sang
Pemberi memberikan kenangan masa
lalu kepada Jonas melalui sentuhan tangannya.
Lalu, ketika “mengenang” gambaran-gambaran itu,
Jonas mulai dapat merasa. Ketika “di-perkenang-kan” kenangan yang berupa
gambaran tentang sepasang kekasih yang sedang menari, keluarga yang sedang
berkumpul, dan anak-anak yang bermain, Jonas merasakan bahagia. Dan ketika
diperlihatkan gambaran tentang unjuk rasa, perang, dan kejahatan, Jonas
merasakan ketakutan.
Sampai suatu ketika Jonas dapat “merasakan”
sesuatu kepada teman masa kecilnya, suatu perasaan yang selama ini tidak pernah
ia rasakan sebelumnya. Namun dalam masa-masa selanjutnya Jonas akhirnya
mengerti bahwa bukan hanya rasa gembira yang ada, tetapi juga rasa sakit dan
sedih.
Pada akhirnya, Jonas melihat sebuah fakta
yang mengerikan di dunianya, dimana bayi-bayi yang tidak sesuai standar yang
berlaku akan dibunuh begitu saja. Hal yang lebih menyedihkannya lagi adalah mereka
yang melakukan pembunuhan tersebut tidak mengerti apa yang dia perbuat adalah “membunuh”,
tetapi apa yang mereka sebut sebagai “melepaskan”. Dan kemudian, seperti
layaknya sebuah film kebanyakan, berbekal pengetahuan dan keyakinannya terhadap
kebenaran, sang tokoh utama memutuskan untuk mengubah dunianya dengan cara
mengungkapkan kepalsuan yang selama ini disembunyikan oleh Tetua komunitas tersebut.
***
Dalam sumbangan pemikirannya, Lacan
menganggap ketidaksadaran sebagai entitas yang memiliki struktur, seperti
bahasa dan semiotika. Linguistik,
menurut Lacan, dianggap masuk akal dalam menjelaskan ketidaksadaran. Ketidaksadaran
menurut Lacan adalah rangkaian penandaan. Ketidaksadaran mengkondensasi dirinya
lalu melakukan pemindahan, hal ini dikaitkan dengan metafora dan kiasan. Lacan
menyinggung tiga konsep penting, yaitu; kebutuhan,
permintaan, dan hasrat. Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase
perkembangan manusia yaitu: yang nyata, yang imajiner, dan yang simbolik.
Yang
nyata adalah
dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang belum terbahasakan, yaitu;
wilayah gelap yang tidak diketahui oleh manusia. Atau dengan kata lain, yang nyata adalah suatu wilayah psikis
yang belum ada keterpisahan, tidak ada bahasa, tidak ada kehilangan. Ia merupakan
suatu kondisi kesatuan dan kepemenuhan, yang intinya, tidak dapat dimediasi
oleh bahasa. Selanjutnya, yang Imajiner adalah
masa identifikasi diri. Menurut Lacan, fase ini bersinggungan dengan tingkatan
selanjutnya, yaitu yang simbolik. Lacan
menggambarkan sebuah ilustrasi dalam fase ini sebagai kondisi dimana seorang
bayi yang melihat pantulan dirinya di cermin dan menyadari bahwa gambaran
tersebut baik sebagai dirinya sendiri maupun bukan dirinya (hanya imaji yang
terpantul).
Selanjutnya, tatanan simbolik, ditandai dengan adanya konsep hasrat. Simbolik juga menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek
yang berbicara untuk menjadi “aku” dan berkata sebagai “aku” untuk mencapai
suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Ia
merupakan kerangka impersonal yang berlaku dalam masyarakat, sebuah arena dimana
setiap orang mengambil tempat di dalamnya. Tatanan simbolik merupakan ranah
makna sosial, logika dan diferensiasi yang di terima --di dalam dan melalui itu,
individu mulai menampilkan keinginan
dan karenanya membentuk sebuah subjek manusiawi.
***
Dalam tingkatan simbolik, individu akan terjun dan terjebak dalam sebuah sistem simbolik.
Sistem simbolik adalah realitas yang diungkapkan melalui bahasa. Di titik ini
individu menyadari subjektivitasnya sebagai “aku”. Dan seiring dengan
terintegrasinya manusia dengan bahasa, manusia hanya akan selalu merasakan kekurangan dan kehilangan. Artinya, manusia akan terus mencari apa yang
ideal bagi dirinya. Ia akan mengidentifikasikan makna dan konsep secara terus
menerus tanpa henti. Mengidentifikasi dan menemukan. Menemukan dan memaknai. Memaknai
dan mengidentifikasi. Apa-apa yang didengar, dilihat dan dirasakan akan membentuk konsep simbolik di dalam kepala kita. Kemudian melahirkan makna baru lagi yang terselip dibalik simbol-simbol yang coba diidentifikasi oleh individu. Segala simbol adalah perkara semiotika. Dan segala yang semiotik hanya akan memproduksi penanda baru, tingkat pemaknaan baru, dan makna-makna baru.
Terus menerus.
Secara metafor, sebelum Jonas dapat merasa
dan memaknai, ia berada dalam tahapan dimana tidak ada jurang sama sekali terhadap
apa yang kita sebut sebagai yang ideal. Tidak ada ukuran terhadap itu. Jonas hanya
mengikuti pola, mengikuti pola, dan mengikuti pola. Tidak ada inisiatif
kemanusiaan, tidak ada ego manusiawi. Jonas hanyalah sebuah robot yang tidak
dapat memproduksi perasaan dan gambaran di dalam diri dan kepalanya tentang dan
terhadap suatu hal. Dan semua berubah ketika dia menerima kenangan dari Sang Pemberi--yang
secara simbolik, menyadari “keakuannya” sebagai subjek manusiawi yang dapat
merasa dan menerka. Yang selanjutnya berubah menjadi individu yang berinisiatif,
berkeinginan, dan berharap.
Seperti yang telah diceritakan di atas, setelah
menerima semua kenangan masa lalu, Jonas
merasakan suatu “perasaan” kepada teman masa kecilnya yang bernama Fiona.
Sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia-manusia di komunitas itu. Sesuatu
yang tidak terdefinisikan secara kolektif. Dan tidak memiliki makna yang
bertingkat-tingkat, karena hanya Jonas yang dapat mengidentifikasi, memahami,
dan memaknai “sesuatu” tersebut. Pada akhirnya, dia mengerti bahwa apa yang dia
rasakan adalah cinta. Dan Jonas merasa sedih ketika Gabe (seorang bayi
yang merupakan adik angkatnya yang diserahkan kepada keluarganya) hendak
dibunuh oleh Tetua komunitas. Selanjutnya
Jonas mati-matian berusaha menyelamatkan Gabe dari incaran orang-orang
komunitas yang memburunya. Di titik ini
kita menyadari bahwa apa yang Jonas alami adalah bentuk dari afeksi dan
simpati.
Tapi benarkah kesedihan dan kesenangan
Jonas adalah entitas yang secara objektif bermakna sebagai entitas itu sendiri?
Ataukah bentuk dari subjektivitas kemanusiaan yang dirasakan, dimaknai, dan
dipahami secara personal oleh Jonas sendiri?
Saya ingat kata-kata seorang kawan, “ketika
kita jatuh cinta, sebenarnya kita sedang mengagumi perubahan-perubahan yang
terjadi dalam diri kita.” Artinya, ketika kita jatuh cinta kepada seseorang,
sesungguhnya kita bukanlah sedang mencintai seseorang itu. Tetapi justru mencintai
diri kita sendiri yang mengalami perkembangan yang secara psikologis melalui
tahapan ke arah sesuatu yang kita anggap ideal.
Saya justru lebih suka memaknai dengan
pemahaman yang lain. Seperti bayi yang melihat bayangannya sendiri di cermin, seringkali
kita melihat objek sebagai pantulan yang dibentuk oleh pikiran kita sendiri. Maka,
ketika kita jatuh cinta kepada seseorang, kita hanya membentuk citra tentang
dirinya di dalam kepala kita sebagai sesuatu yang ideal dan kemudian setengah
mati mencintai citra tersebut, dan justru bukan pasangan kita sendiri sebagai
objek yang utuh.
Serupa Jonas yang menangisi Gabe, kita seringkali menganggap kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan kita sebagai suatu ancaman. Kita
membentuk premis-premis sedemikian rupa sebagai rujukan dan alasan yang kita
akui dengan pembenaran subjektif bahwa apa yang terjadi adalah sesuatu yang
layak untuk ditangisi. Dan serupa Jonas yang menangisi Gabe, kita meratapi
kehilangan yang pada dasarnya adalah kita meratapi diri sendiri yang “merasa”
kehilangan --karena premis-premis tertentu, dan justru bukan meratapi yang
hilang itu sendiri.
No comments:
Post a Comment