Ada banyak cara berkenalan dengan hal-hal yang
kelak kalian sukai. Di era 90’an, orang-orang yang menaruh minat terhadap musik
terbiasa saling bertukar-pinjam mixtape dan
berbagi informasi dengan lingkaran mereka tentang band-band favoritnya. Musik hanya
akan dapat didengar dan didapat dalam medium yang berbentuk fisik. Lalu
kemudian muncul masa dimana teknologi memberikan keajaiban. Melahirkan berbagai
format audio serupa mp3, FLAC, MPC dan seterusnya yang dengan mudah kalian
dapatkan tanpa harus membeli secara komersil. Tidak hanya membuat lagu-lagu
rekaman yang direkam dalam bentuk kaset kehilangan popularitasnya, namun
mengubah cara-cara konvensional dalam berbagi dan bercerita menjadi serba
praktis dan cepat. Karena, apa sih yang tidak bisa kalian dapatkan di lautan
informasi kolosal bernama internet?
Beberapa hari yang lalu saya mampir di
rumah seorang kawan. Sore hari. Ketika laptopnya
memutar sebuah lagu yang langsung saya sukai. Lagu yang saya dengar itu
ternyata berjudul Manuskrip Telaga. Sepanjang
lagu didominasi dengan denting petikan gitar dan diisi vokal yang tenang dengan
syair yang membawa imajinasi saya melayang ke negeri dimana terdapat taman yang
luas, sungai-sungai mengalir, burung-burung yang minum di sebuah telaga dan bayangan-bayangan
sejenis tentang arti sebuah “kedamaian”. Lagu lain tidak banyak berbeda, Aku Adalah Kamu, yang saya dengar
selanjutnya, tetap didominasi petikan gitar diiringi ketukan sederhana yang
teratur dan instrumen-instrumen yang bermain sedemikian rupa menjadi kesatuan yang
harmonis.
Selanjutnya saya mengetahui bahwa band itu
bernama Dialog Dini Hari. Sebuah band
beraliran folk/blues yang dimotori
Dadang SH. Pranoto. Dari informasi di internet, Dadang, atau yang akrab disapa
Dankie, sebelumnya dikenal sebagai gitaris band grunge asal Bali bernama Navicula. Saya tidak pernah mendengar band
ini sebelumnya. Dan jika mereka eksis di era-era 90’an, maka saya adalah
generasi kemudian yang tidak pernah menikmati lagu-lagu salah satu band Indonesia
di zamannya pada waktu dimana musikalitas musik Indonesia benar-benar
berkulminasi. Jika dalam band sebelumnya
yang beraliran grunge pastilah dia bermain
keras dan cadas, namun dalam Dialog Dini
Hari Dadang bertransformasi menjadi sosok “Pohon Tua” dimana dia lebih
mengeluarkan sisi spiritual nan halus dalam lirik dan musiknya.
Saya mendapatkan koleksi beberapa single dari
Dialog Dini Hari di folder laptop
seorang kawan. Dua, tiga lagu berasal dari album kedua. Dalam folder tersebut
memang berisi kumpulan lagu-lagu Dialog
Dini Hari yang berasal dari single dan album secara acak dan disimpan
dalam satu folder. Kemudian saya melakukan hal untuk melengkapi koleksi
tersebut dengan sebuah metode ala manusia modern: browsing.
Album kedua Dialog Dini Hari adalah perwujudan perenungan panjang penulisnya. Di
album ini, lirik-liriknya lebih bercerita (berpuisi, atau apapun itu) tentang keindahan
agama, tentang bagaimana melihat Tuhan, dan pemahaman spiritual dari perspektif
personal yang menyentuh kesadaran universal. Di album ini terdapat lima lagu yang
masing-masing judul merepresentasikan lima agama di Indonesia. Lima lagu
tersebut adalah: Manuskrip Telaga,
Nyanyian Langit, Aku Adalah Kamu, Menutup Tirai dan Lirih Penyair Murung.
Dalam Manuskrip
Telaga, betapa barisan syair Sufistik menekankan tentang bagaimana melihat
Tuhan dalam diri sendiri dan diri orang lain. Telaga, dipersonifikasikan
sebagai Tuhan, --yang memberikan kesegaran dan keteduhan kepada manusia, yang memantulkan
cermin diri wajah masing-masing.
Lalu Nyanyian
Langit adalah manifestasi mantera semesta dengan denting petikan gitar dan tabla ala India yang bersinergi dan memabukkan manusia pada
keheningan doa. Lirik “bersunyi diri
tanpa pamrih...” seolah berkata bahwa kesejatian hanya bisa didapat dari
pertapaan abadi secara batiniah. Perjalanan hati dalam melakukan dharma agar dapat melepaskan diri dari
ikatan yang mengikat manusia pada siklus samsara.
Dan, kalimat; “nyalakan lilin cahaya jiwa…” dalam Menutup Tirai terdengar sangat Kristiani. Diiringi suara penyanyi
latar dengan vokal paduan suara ala gereja yang menambah kesan gospel. Dan dalam chorus pertama dan
terakhir seolah berbicara tentang situasi apokaliptik yang menanti datangnya
Mesiah dimana jiwa-jiwa menyambut untuk diselamatkan.
Album kedua Dialog Dini Hari --dalam pemahaman yang sinis, mungkin dapat
dianggap sebagai sikap ide pluralisme agama penulisnya. Namun saya pikir, seperti
sebaris syair dalam Manuskrip Telaga, yang
mengisyaratkan bahwa kehidupan sejatinya adalah sebuah rumah yang memiliki
ruangan universal dengan lima pintu, atau bahkan banyak pintu. Dan setiap
pribadi memiliki pintu-pintu sendiri untuk mencapai ruangan tersebut. Orang-orang mungkin memanggil Tuhan dengan nama
yang berbeda. Mengenalinya dengan berbagai sifat yang bermacam-macam. Tetapi mengacu
kepada Dzat yang sama. Bahwa pada hakikatnya pintu-pintu tersebut saling
bersinggungan dan mengantarkan pada ruangan yang sama. Kesejatian yang sama. Intinya,
ada kondisi spiritual dimana pemahaman sejati lebur dalam lautan penghayatan
yang luas tanpa batas, yang hanya didapat dari proses "mengalami" dalam perjalanan masing-masing. Tidak dapat disimbol-mutlakkan ke dalam kata-kata, dan atau
pun, tidak dapat dihakimi oleh kekerdilan nalar yang terbatas. Bukankah bahkan persepsi kita terhadap Tuhan bagi
kita masing-masing pun pasti berbeda?
Maka, serupa Rumi dengan tarian
berputarnya, atau Al Hallaj dengan wahdatul
wujudnya, setiap kita menemukan keindahan Tuhan dengan pintu yang ada dalam
diri sendiri. Yang ternyata lebih dekat dari urat leher kita sendiri.
***
Berikanlah ku nama
Terindah saat kau menyebutnya
Merdu bagai dendang takdir
Senandungkan musim berganti
Terindah saat kau menyebutnya
Merdu bagai dendang takdir
Senandungkan musim berganti
Pahamilah ucap ku
Seindah yang kau mau
Seteduh perangkai kata
Anggun bersajak cinta
Seindah yang kau mau
Seteduh perangkai kata
Anggun bersajak cinta
(*)
beautifully written. album kedua dialog dini hari emang seindah ini sih. menumbuhkan seusatu di dalam kalbu.
ReplyDelete