Friday, October 26, 2012

Luka

Sendiri. Seperti biasa, ia seorang diri. Bahkan dalam keluarga dia selalu seorang diri. Dia memang berbeda. Dia manusia yang menjunjung individualitas. Berkawan kepada diri sendiri. Angin berlalu, matahari membakar, terserah saja.

Pejalanan hidup adalah mozaik yang tak bisa diceritakan secara gamblang menjadi rangkaian huruf. Hidup, sejatinya adalah kisah. Dan kisah memiliki alur sendiri. Memiliki konflik dan heroisme masing-masing, pun tujuan yang tak seorang aktornya pun tahu akan berhenti di titik mana. Karena hidup adalah cerita, cerita bisa berubah-ubah. Seperti layaknya analogi murahan tentang roda yang berputar. Satu hal yang pasti, anak periang itu tiba-tiba tumbuh menjadi manusia skeptis, apatis, dan melankolis.

Hidup kenyataannya adalah seorang diri. Masing-masing memainkan peranannya dalam ceritanya sendiri. Sementara matahari dan gulita masih tetap bertukar posisi pada setiap rotasi bumi. Dia masih melangkah. Melangkah saja. Pergi mencari. Mencari tanpa tahu apa yang hilang? Ketika dunia terlalu sesak oleh deru debu duniawi, dilihatnya hanyalah topeng-topeng kepalsuan. Ia pemberontak. Berontak terhadap apapun.

Tak ada yang benar-benar memahaminya. Bahkan ibunya sendiri, tak begitu mengerti ia. Ia sadar, terkadang ada hal-hal yang tak dapat kau ungkapkan bahkan pada keluargamu sendiri. Siapa hendak berbagi? Teman? Lupakan!

Hatinya, walau begitu, memiliki negara yang teritori dan undang-undangnya tak dapat kau invasi. Hidup adalah pencarian, begitu pikirnya. Tak sekedar menjalani, tapi mencari. Ia menolak menjadi mesin, kewajibannya sebagai manusia adalah menjadi manusia. Manusia pasti mencari. Mencari untuk menemukan. Dan lalu kemudian memaksanya berangkat tanpa pretensi apapun untuk mengharapkan surga dan neraka sebagai imbalan.

Lalu pabrik mengepul, jam berdentang, roda berputar.

Ah, ia rindu dirinya.

Banyu Bening

Kepadamu ada yang tak terucap, seperti misterimu yang sulit diungkap
Di matamu aku merasa dingin, serupa rapuhnya sentuhan angin

Tiba-tiba kau menjelma pantulan cermin
Lalu kulihat refleksi diri
Diakah Aku?

Seperti obituari, kau kabari kematian hati
Inikah sepi?

Kukira kita sama menanti,
tanpa kusadari kita tidak lagi menari

Sampai akhirnya kau pergi,
membawa jiwaku yang tercuri



Oktober 2012

Friday, September 14, 2012

Secangkir Kopi

“Wahai, deretan angka dan rotasi jarum penunjuk, jangan biarkan aku menjadi lupa di tengah pacuanmu yang memburu..”

Secangkir kopi. Terang saja ada banyak sekali jenis minuman kopi di dunia, tentunya dengan rasa yang berbeda-beda. Mulai dari cappucino, latte, espresso, macchiato dan entah apa lagi. Dan secangkir kopi itu yang menyatukan kami. Perkenalan bermula ketika kami berada dalam sebuah institusi pendidikan yang sama. Berada di lingkungan baru, konon waktu itu aku tidak memiliki teman. Ah ya, dunia dan segala isinya. Terkadang kau harus memberikan jalan kepada orang lain yang ingin lewat, atau sekedar memberikan tempat duduk pada seseorang disebelahmu. Dan apa itu? Hubungan antar manusia? Salah satu keniscayaan kehidupan yang menjadi kelemahanku. Dan yah, dia satu-satunya kawan yang tidak menjadi sebagai orang asing dalam pertemuan pertama kami.

Yogyakarta adalah takdir dimana aku membuka mata. Sementara sebelumnya aku melambaikan punggung pada Lampung. Dia berasal dari daerah yang berbeda. Sebuah pulau di penghujung pulau Jawa bagian timur. Pertemanan berlanjut mengantarkan kami pada hari-hari dimana kami sering bersama. Kebersamaan di kampus. Kebersamaan menolak menghamba pada dunia yang menengadah angkuh. Meski akhirnya pilihan hidup kemudian mengantarkan kami pada jalan yang berbeda. Ah, Yogyakarta hanyalah tempat pertemuan.

Aku ingat betul semua memori tentang itu. Sekedar menghabiskan malam di riuhnya kesibukan kota. Duduk-duduk. Menyapa hedonisme keramaian malam. Di lorong trotoar Stasiun Tugu. Sastra, sosial, filsafat. Apapun namanya itu, terkadang bangku taman dan trotoar harus rela kami duduki berjam-jam lantaran kami yang berdiskusi atau mengobrol remeh temeh (oh kawan, meski terkadang beberapa hal yang tidak aku mengerti.) Jelas –dalam beberapa hal, kami berada dalam pandangan yang berbeda. Namun isi batok kepalanya memiliki gagasan-gagasan yang luar-biasa. Aku mengaguminya. Bagaimana perspektifnya dalam memandang spektrum kehidupan. Ada kesamaan hal yang tidak membedakan kami, manusia dengan kegelisahaan batinnya yang melahirkan pencarian, pencariannya masing-masing.

“Dan apa sesungguhnya yang kau cari?”

“Entahlah, seperti Ibrahim dalam perjalanannya, mungkin...”

Aku tidak tau seberapa sering manusia melakukan monolog pada umumnya. Bentuk monolog itu bisa menjadi dialektika dengan diri sendiri, introspeksi, atau pertanyaan yang dilengkapi pertentangan batin. Dan pada saat itulah pertanyaan muncul tentang,

“Yang mana diri kita sesungguhnya ketika kita berbicara pada diri sendiri?”

Entahlah! Tak harus ku jawab itu. Aku hanya butuh meneguk kopi ku pelan-pelan. Tidak apa-apa, bahwa terkadang pahit itu harus dinikmati. Ah, aku menyukai kopi karena aku menyukainya. Aku bukanlah tipe manusia yang peka dalam menginterpretasikan sesuatu, apalagi jika harus memaknai arti filosofis di dalamnya. Tapi dengan secangkir kopi, aku bisa melihat diriku. Aku mulai mengenali diriku. Secangkir kopi. Secangkir kopi yang selalu melarutkanku dalam sunyi. Secangkir kopi yang melahirkan obrolan tentang semesta. Secangkir kopi dan pencarian. Aku tenggelam dalam pertanyaan.

Sementara malam semakin ramai. Dan seniman jalanan masih tetap menyanyikan syair-syair lirih senandungnya. Pengemis meminta-minta di lampu-lampu merah. Pemabuk menghayak botol di pojokan Malioboro. Pelacur bersolek.

 “dalam diriku mengalir sungai panjang,
                                                            darah namanya;

dalam diriku menggenang telaga darah,
                                                            sukma namanya;

dalam diriku meriak gelombang sukma,
                                                            hidup namanya;

dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya”
(-Sapardi Djoko Damono)

Friday, August 31, 2012

Beberapa Kalimat Tentang Kematian

Dalam kalimat-kalimatnya kepadaku ia pernah berkata,
“Seperti sebuah lomba lari, kita mungkin jauh tertinggal, tapi yang memulai start lebih dulu belum tentu lebih dulu sampai garis finish, kawan. Kita masih di perjalanan”.
“Hidup tak perlu panjang, tapi ia harus dijalani semampu kita bisa”

Aku tidak begitu mengerti apa yang dimaksudnya dengan “garis finish”. Mungkin baginya itu kata kiasan untuk mewakili kata “target” atau “mimpi”, atau “sukses”, atau apalah itu. Tetapi aku malah menginterpretasikannya sebagai “kematian”.

Ia bicara tentang harapan, tentang semangat yang tak boleh redup, tentang perlawanan yang tak boleh puput. Sebuah kalimat yang diucapkan kepadaku ketika batu karang sempat menyandung langkahku, dan langkahku terhenti pada situasi dimana jurang menganga dihadapanku, membuat tertinggal dari langkah-langkah mereka yang semakin mendahuluiku tanpa memberi kesempatan untuk sekedar menghela nafas.

Apakah kita memang mengerti arti hidup? Dia yang mengatakan itu padaku, bahwa hidup memang harus dijalani sesederhana itu.

Dia tak pernah menjawab secara rinci. Hari-hari bersamanya kulewati bertahun-tahun lalu. Fase dimana kami belajar mengepakkan sayap remaja yang coba beranjak. Hari-hari masih belum sehitam sekarang. Masa putih abu-abu yang membosankan.

Lalu kemudian muncul hari-hari dimana kami mengepakkan sayap di kota berbeda. Menempuh jalannya masing-masing. Hanya waktu idul fitri atau libur semester mempertemukan kami.

Sinar mentari yang masuk melalui celah jendela kamar tingkat dua. Situasi sebuah ruangan yang kerap jadi markas bersua kami. Sekedar bertamu. Saling sapa, duduk-duduk, mencicipi khasnya kopi hitam yang diseduh olehnya. Saling tukar tanya. Kemudian terlontar obrolan remeh-temeh dari seputar kuliah sampai Nietzsche, dari sosial-masyarakat sampai kejamnya kehidupan yang kami tertawakan.

“Kita tidak apa-apa, kawan” katanya seraya menyeruput kopi hitam yang tersaji di depannya.
Namun selintas, kulihat guratan-guratan wajahnya menyimpan kegelisahan.

Bicara tentang hidup dan kehidupan adalah bicara tentang apa yang kau lakukan untuknya. Alasan yang membuat dirimu diakui ke-eksistensian-nya dalam hidup dan kehidupan ini. Tentang kontribusi. Tentang prestasi. Atau apalah itu. Karena itu akan menjadi sebuah cerita di semesta ini. Maka sejarah mencatat, manusia paling dikenal adalah mereka yang tegas memilih jalannya sendiri. Menjadi Gandhi atau Hitler. Perbaikan atau kerusakan. Atau setidaknya harakiri serupa Ikarus. (Yah, di bawah sana memang terlalu membosankan). Adalah hal yang sia-sia kau tak melakukan apapun. Kau tak akan menjadi pengaruh bagi keberlangsungan umat manusia yang mulia ini. Kau tak akan menjadi protagonis. Bahkan untuk ceritamu sendiri.

“Ck ck, yaah. Kita memang tidak apa-apa, kawan...”

Monday, August 27, 2012

Ruh Kelana

Bersemayam dalam tubuh ini ruh kelana
Bersarang didalamnya berjuta Tanya
Dimana? pada awalnya ia bermula
Kemana? pada waktunya akhir kelana

Belum lagi ianya bersua hasil
Nyanyian bimbang itu mengutuk bak laknat azazil
Menghujam serupa ababil menabur kerikil
Aku ingin berontak seperti Qabil

Mereka memburu, merasuk, mencekik
Mempertanyakan eksistensi
Yang tak luput dari konsekwensi
Kemanakah ringkih jiwa harus mencari

Atau dimanakah tempat sembunyi
Sedang aku masih disini,
seperti orang buta dalam sepi


Agustus 2012