Tuesday, March 29, 2016

Debu



Shakespeare pernah berkata, “apalah arti sebuah nama”. Ucapan itu sering diartikan bahwa nama hanyalah sekedar nama, tidak ada makna khusus di dalamnya. Bedanya di dalam kebudayaan timur, nama menjadi sesuatu yang penting. Ada sebuah ungkapan “nama adalah doa”. Nama dianggap dapat mendeskripsikan ciri khas seseorang atau sesuatu. Intinya, nama melekat erat dengan esensi. Dan nama pun bertransformasi menjadi sesuatu yang menyimpan arti, harapan dan representasi terhadap sesuatu yang disandangnya.

Seperti halnya Adam yang diajari oleh Tuhan tentang nama-nama, nama adalah simbol ilmu pengetahuan. Dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menamai dan memaknai segala sesuatu. Lalu manusia pun berbahasa, dan menamai segala hal. 

Tapi pernahkah kamu berpikir apa yang terjadi bila seandainya dulu kamu terlahir dari keluarga yang berbeda dari keluargamu saat ini? Tentu kamu akan memiliki nama yang berbeda. Jadi siapakah diri kamu sebenarnya? Siapakah kita?

Kita adalah debu semesta, yang menari-nari di lautan kehampaan. Meraih apa yang bisa diraih. Menggapainya dan mencoba mendefisinikannya. Tetapi sesungguhnya istilah “debu semesta” itu pun tidak terlalu tepat untuk menamai siapa diri kita sesungguhnya. Karena sesungguhnya kita tidak bernama. Kita adalah kertas putih kosong yang kemudian diberi identitas sebuah nama. Lalu kita dibingungkan oleh simbol-simbol, dan menyangka diri kita yang sejati adalah nama itu. 

Bila suatu ketika kamu amnesia dan melupakan segala hal. Melupakan nama-nama, melupakan bahasa, melupakan konsep-konsep, dan yang lebih parah melupakan namamu sendiri. Akankah kamu akan mengenali dirimu? 

Bukankah arofa nafsahu, arofa Rabbahu? 



***

 I close my eyes, only for a moment, and the moment's gone
All my dreams pass before my eyes, a curiosity
Dust in the wind
All they are is dust in the wind

Same old song, just a drop of water in an endless sea
All we do crumbles to the ground though we refuse to see
Dust in the wind
All we are is dust in the wind

Dust in the wind

Everything is dust in the wind
Everything is dust in the wind
(*)

* Kansas - Dust In the Wind

Thursday, March 17, 2016

Bisik Cermin




Sayang, mungkin kita perlu untuk sama-sama belajar mengendalikan diri. Sebagaimana hidup adalah tentang mengendalikan dan melampiaskan. Ada yang harus dilampiaskan dan ada yang harus dikendalikan. Bahwa dalam berpacu, kuda harus dilampiaskan. Bahwa dalam makan dan minum, nafsu harus dibatasi. Bukankah itu yang membuat kita sebagai manusia berbeda dari makhluk yang tak diberi kapabilitas untuk dapat memenej segala hal yang sekiranya dapat mencelakakan atau menyelamatkan diri mereka?

Aku ingin kita sama mengendalikan rasa. Mengendalikan rindu. Mengendalikan amarah. Mengendalikan cemburu. Mengendalikan curiga. Mengendalikan apa saja yang berkecamuk di dalam diri kita. Aku tak memintamu memusnahkannya. Siapakah yang menancapkan semua perasaan-perasaan itu di hati manusia? Bila cinta adalah api, maka rindu adalah panasnya. Dan ia wajib ada. Sebagaimana amarah diperlukan supaya ia membuat kita mengerti batasan-batasan.

Aku hanya ingin kita perlahan-lahan berdamai dengan segala yang bergejolak di dalam diri kita. Bersahabat dengannya. Sehingga kita dapat sama-sama mengatur dan memproporsikan segala macam rasa itu sesuai dengan ukuran-ukuran dan ketepatan yang telah ditetapkanNya. Agar ia tak menjadi angin yang pelan-pelan menjelma menjadi gelombang yang membabi-buta menghanyutkan kita ke segala arah. Agar ia tidak menyerupai anggur yang memabukkan kemudian menerbangkan kita melayang-layang dan membuat kita lupa berpijak di bumi. Agar ia tidak menjadi laju yang tak terkendali sehingga membuat kita kehilangan kewaspadaan.
 
Sayang, tahukah kau? Bahwa pertengkaran tidak lebih menyedihkan dibandingkan tidak saling bicara? Bahwa kecurigaan lebih perih daripada kecemburuan? Dan keraguan lebih menyakitkan daripada kebencian? Aku tak berharap itu terjadi pada kita. Tetapi, walaupun toh itu terjadi tersebab suatu hal, bukankah kita harus menghikmahi segala hal yang terjadi di dalam cerita kita? Setiap suka dan lukanya. Semuanya. Seperti jarak dan jeda yang memeluk kita saat ini. Bukankah dengan jarak kita belajar untuk merindu? Bukankan jeda mengajarkan kita tentang kesetiaan? 

Dan bila kelak kita sama-sama terjebak dalam labirin super rumit yang ternyata diri kita sendirilah perancangnya, aku ingin kita sama-sama mengibarkan bendera putih dan mulai menyatukan peta.

Monday, March 14, 2016

Redup






aku ingin melarikan diri ke gunung,
melampiaskan jenuhku pada nyanyian burung-burung
yang tak pernah mengajariku bagaimana tetap bernyanyi dalam sepi

aku ingin mengasingkan diri ke pantai,
menumpahkan sesakku pada laut
yang tak sekalipun memberitahuku bagaimana melapangkan nafas di tengah-tengah lelah

kemana saja, aku hanya ingin pergi

Saturday, March 12, 2016

Bayang-bayang




The Truman Show bercerita tentang Truman Burbank, seseorang yang tidak menyadari bahwa kehidupannya diawasi beribu-ribu kamera dan dijadikan sebuah film biografi oleh Christof, sang sutradara sekaligus produser televisi yang berambisi membuat maha reality show dengan memfilmkan kehidupan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Maka, Truman hidup dalam pengawasan kamera yang ditayangkan selama 24 jam terus menerus tanpa jeda sedikit pun dan hanya diinterupsi ketika Truman melakukan hal-hal personal, seperti bercinta dengan istrinya, ke kamar mandi, dan hal pribadi lainnya. 

Truman hidup dalam sebuah studio raksasa yang besarnya hampir menyerupai sebuah negara kecil, dengan matahari, bulan, cuaca dan alam yang serba artifisial di dalamnya. Dalam kehidupan Truman, setiap hari adalah skenario yang telah dirancang sedemikian rupa oleh Christof dengan plot kehidupan yang seolah-olah alami dan serba kebetulan didukung oleh aktor-aktor figuran yang menjelma menjadi masyarakat. Dan begitulah, Truman hidup dalam kepalsuan tanpa menyadari kenyataan sesungguhnya.

Plato dalam Alegori Gua mengilustrasikan sebuah kondisi dimana ada beberapa tawanan seumur hidup yang diikat di dalam sebuah gua dengan posisi menghadap ke dinding belakang gua. Para tawanan ini hanya dapat melihat ke hadapannya, yaitu dinding gua, di mana terdapat bayang-bayang manusia yang berlalu lalang di luar gua dan objek-objek lain akibat pantulan sebuah api yang berkobar di pintu masuk gua. Para tawanan beranggapan bahwa kenyataan adalah bayang-bayang, dan bukan ilusi.

Bayang-bayang tentulah hanya refleksi. Sementara objek asli ada di luar sana. Manusia hanya melihat apa yang ada di dalam lingkaran. Mengutip kalimat Chistof, “manusia menerima realita kehidupan yang mereka percayai”. Sesederhana itu.

Saturday, March 5, 2016

Kau




"Kau lebih mahal dari langit dan bumi."

kau adalah perempuan
lebih berseri dari segala macam bunga di taman manapun di bumi
yang bukan saja menebar wangi dan kasih, tapi juga mencerminkan ketinggian derajat keindahan

kau adalah ibu
lebih luas dari samudera, yang menampung sungai-sungai kelelahan di pundaknya
yang apabila airmatanya menetes karena merasa tersakiti sedikit saja, akan membuat seantero malaikat naik pitam karena marah

kau adalah penggenap hidup
seperti siang, yang apabila tidak bermurah hati menggenapi malam, akan membuat bumi selamanya dalam dingin dan gelap

pernahkah kukatakan padamu bahwa kau lebih mahal dari langit dan bumi?