Friday, May 8, 2015

Batu Sisifus

Aku hafal betul bagaimana kesumatmu menjelma menjadi laknat
Katamu, dalam bait-bait penghujung kalimat;
Jiwa yang berontak adalah pengkhianat baiat, serupa ketakaburan Azazil menolak taat

Itu setelah kau berpanjang-lebar tentang kemurnian hakikat
Di antara malam, hujan dan keheningan berkarat,
Bisik-bisik yang melayang perkara kiamat; terlontar sebagai jejadian filsafat

Aku yang tak pernah cukup mengerti tentang alegori dogmatik
Atas kalam puitik yang kau hakimi dengan pembenaran semantik
Engkau bertitah harus, menjadikan semua warisan Ikarus menjelma petuah aksiomatik

Lupakan Zarathustra, ketika kata tak mampu lagi merepresentasikan makna dalam detik
Ketika estetika bahasa hanyalah interpretasi pragmatik
Demi anggur Dionysian yang kita tenggak di penghabisan kesimpulan dialektik;

Aku menyerah atas nubuat yang kau plagiat,
Bersimpuh membayar upeti untuk jiwa yang tersesat



Mei 2015