Monday, January 9, 2012

Hitam


Di sebuah jembatan besar yang sepi didekat sebuah hutan yang menghubungkan jalan menuju sebuah desa, seorang ronin dihadang oleh segerombolan penyamun yang bersenjata lengkap. Lantas sang ronin menghentikan langkahnya. Wajahnya tampak tenang. Tak terlihat guratan-guratan kecemasan di wajahnya. 

Tanpa ba-bi-bu gerombolan penyamun tersebut langsung mengepungnya sehingga tak ada celah untuknya melarikan diri. Kesemua dari penyamun tersebut memakai pakaian yang sama. Serupa seragam kebesaran sebuah klan. Nampaknya ada silang-sengketa yang belum terselesaikan diantara mereka, atau bisa jadi kelompok yang menghadang itu hanyalah gerombolan penyamun biasa yang berniat jahat merampok sang ronin? Perduli setan!

Tanpa banyak kata-kata, dua kali tarikan nafas kemudian terjadilah sebuah pertarungan sengit yang diiringi sebuah teriakan. Lantas kemudian disusul jeritan-jeritan yang memilukan. Beberapa orang dari kelompok penyamun mati terkapar dengan kondisi yang mengenaskan, salah seorang dari mereka berakhir dengan kepala terbelah. Sebagian yang lainnya kehilangan anggota-anggota tubuh. Tangan kaki dan kepala berserakan di tanah. Darah muncrat. Tercecer. Banjir darah di atas jembatan.

Namun, sejurus kemudian keadaan berbalik. Sang ronin yang kalah jumlah kewalahan menghadapi serangan lawan yang bertubi-tubi. Penyamun seperti singa lapar yang marah terus menyerangnya. Ronin itu merasa pantang untuk melarikan diri.

Namun kini, dia berhasil dipojokkan oleh orang-orang yang menghadangnya. Salah seorang penyamun yang tampaknya adalah pimpinan mereka mendesak sang ronin untuk menyerah dan mengikuti mereka.

Sang ronin menolak, berkompromi memang bukan kebiasaan mereka. Melihat keadaan begitu genting dan merasa tak ada peluang baginya untuk selamat, akhirnya ia lebih memilih melakukan seppuku, dan mengakhiri nyawanya ditangannya sendiri secara gagah berani. Ronin itu tergeletak dan mati ditanah dengan usus terburai.

Di kejauhan di sungai tak jauh dari jembatan itu seekor kumbang berbisik perihal tragedi berdarah tersebut pada gemerisik rerumputan. Ia berkata

"Bunuh diri adalah jalan terbaik memulihkan kehormatan. Lelaki itu mengakhirinya secara kesatria".
 
Dan rumput menjawab setengah menghardik kepada kumbang

"Begitukah? Aku rasa telah ada silang sengketa diantara mereka. Dia memilih mengakhiri nyawanya dengan melakukan seppuku dan mati secara kesatria. Dengan begitu, ia merasa telah mempertahankan harga dirinya.

Tapi bukankah, semua itu hanyalah pikirannya saja..."

Hujan

               
Aku sedang duduk di sebuah emperan toko di dekat sebuah halte di pinggir jalan raya ketika tiba-tiba mataku menangkap sebuah pemandangan menarik yang memaksaku untuk memperhatikan lebih lama. Seorang laki-laki kira-kira berusia empat-puluhan tahun berpenampilan dekil dan lusuh menari-nari di depanku, di jalan raya di bawah rintikan air hujan yang sejak tadi sore tak henti-hentinya menumpahkan tangisnya. Wajah lelaki itu tampak lebih tua dari yang kuperkirakan. Guratan-guratan wajahnya yang selintas menggambarkan garis-garis kegelisahan tampak kaku dan tua. Tubuhnya yang bertelanjang dada dan hitam akibat sengatan matahari basah kuyub diterjang hujan. Celananya yang mungkin hanya satu-satunya itu compang-camping penuh robekan dan kotor bekas noda debu-debu dan kotoran jalanan yang menjadi tempat tinggal satu-satunya selama ini. Ia menari-nari sambil terus tertawa-tawa, seolah sedang menyambut turunnya hujan.

Sesekali wajahnya dihadapkan ke langit, dan tangannya yang kurus menengadah keatas sambil tubuhnya berputar-putar. Mungkin dia senang hujan turun sore ini. Sudah sekian lama langit tak pernah mencurahkan karunianya kepada kami, penduduk bumi di kota ini. Sehingga membuat suhu udara kota yang disesaki polusi menjadi kian panas. Belum lagi debu-debu jalanan yang beterbangan dihempas kendaraan yang berlalu-lalang, pohon-pohon dan tanaman penghias jalanan menjadi layu dan gersang. Tanah menjadi tandus dan kerontang. Namun sore ini, langit hendak berbagi kebaikannya kepada kami, dan mencurahkan hujan yang membuat manusia-manusia kota yang biasanya sibuk dalam hiruk-pikuknya selama ini kini hanya bisa berdiam diri di sudut-sudut emperan toko, halte, dan ruko-ruko mencari tempat perlindungan dari guyuran air hujan yang meluncur deras, tumpah tak terbendung. Tetapi, aku tak melihat kebahagiaan manusia-manusia bumi dan menyambut kebaikan yang diberikan oleh langit, kecuali lelaki yang terus saja menari-nari ditengah jalan.

Di antara mereka yang berteduh, lebih banyak yang terlihat menggerutu, dan mengumpat turunnya hujan. Mungkin karena hujan menyebabkan mereka menjadi terjebak diperjalanan, basah kuyub, dan membuat rencana atau pekerjaan-pekerjaan mereka tertunda? Aku tak sungguh mengerti. Yang jelas, kini aku dan mereka terjebak dalam derasnya rintikan hujan. Hujan yang mengirimkan tetesan-tetesan berkah dari langit. Pun hujan yang bisa saja memberi kutukan murka kepada bumi. Kami terdiam. Tak ada yang bersuara. Bahkan untuk sekedar bersenandung sambil menunggu hujan reda. Dinginnya hujan membius jiwa kami untuk bungkam. Sehingga tak terdengar lagi keluhan manusia-manusia itu. Suasana seperti ini membuat kami larut dalam lamunan masing-masing. Sedangkan lelaki itu terus saja menari, melakukan hal-hal aneh yang menandakan bahwa ia telah benar-benar kehilangan kewarasannya. Sesekali ia menunjuk dan menertawakan kami yang masih terdiam dan larut dalam lamunannya masing-masing. Entah apa yang ia tertawakan.

Tawanya begitu misterius dan tak dapat kumaknai. Mungkin ia merindukan turunnya hujan. Sehingga ia menjadi begitu bersemangat ketika akhirnya hujan turun dan memberikan kebaikan. Aku bisa membayangkan kegembiraannya. Wajahnya yang kemudian mendadak ceria, tubuh yang tak henti-henti menari. 

"Sejenak dunia menjadi hening, damai, dan tenang. Indah bukan? Tetapi, tetapi, ada apa dengan wajah-wajah ini? Seperti ekspresi penyesalan. Seolah seperti menolak turunnya hujan, dan menganggapnya adalah bencana yang dapat mengganggu aktivitas dan kelangsungan mereka. Oh, manusia-manusia ini memang bodoh! tak pernah sedikit saja mencintai dan menghargai ketenangan." Begitu mungkin pikirnya. 

"Hahahaha..." Dia tertawa lepas. Aku mencoba menerka apa yang dipikirkan sel-sel otak dalam kepalanya.

"Hujan telah memberi momen terindah dimana kalian dapat berkumpul sejenak, menikmati syahdunya suasana, sembari mengistirahatkan jiwa-jiwa kalian yang lelah akibat terlalu sibuk dengan urusan-urusan kalian. Lihatlah hujan ini! Begitu damai dan tentram. Memberi kebahagiaan pada makhluk-makhluk bumi. Menyuburkan tanah yang semula tandus ditimpa kemarau, menyegarkan pohon-pohon dan tanaman yang kesegarannya hilang digerogoti layu. Menyegarkan udara yang sebelumnya sesak dan panas. Lihatlah hujan diluar! Memberikan nafas-nafas kehidupan seraya ketenteraman suasana yang tak sempat kalian rasakan. Lalu, mengapa wajah kalian kusut? Ah, aku benar-benar tak mengerti. Lihatlah aku yang bahagia menyambut hujan. Lihatlah aku yang tidak lebih gila kalian." 

Tarian dan tawa laki-laki itu benar-benar misterius. Seakan-akan hendak mempertunjukkan dan menyampaikan sesuatu kepada kami yang masih terdiam menunggu hujan reda.

Dan kami masih larut dalam lamunannya masing-masing.