Wednesday, September 2, 2015

Aku Menitipkanmu KepadaNya

Aku menitipkanmu kepadaNya,
seperti isyarat yang pernah kutitipkan kepadamu
Seperti hal keduanya,
adalah harapku utuh terjaga untukku

Meski tak dapat kupaksa kehendak takdir,
tetapi keyakinan adalah penawar ragu yang menggetir
Maka biarlah luruh kemana Ia menuntun,
serupa hanyutnya angin yang menerbangkan daun

Sang darwis pernah berucap, “tak akan sampai kelak,
dua insan dijurangi jarak”
Karena rindu tak melulu soal menunggu,
tetapi setia menjaga untuk menyatu

Mungkin kau juga tahu, “mencintai itu luka,
merindu itu perihnya”
Tetapi sebagaimana rindu meneguhkan cinta,
begitu pula waktu menyembuhkan luka



2 September 2015

Rembang Petang

Rembang petang,
Saat mata elang masih menjagai merahnya ufuk barat
Kubacakan kembali puisi sebagai penyambung selang infus
bagi harapan yang hampir mampus
ditelan kesepakatan vampir yang coba menginvasi tanah kami
Maka kami berkonsensus, untuk menolak menyia-nyiakan hidup serupa mendorong batu Sisifus
Sejak tanah, air, dan udara kami adalah persembahan bagi bendera korporasi

Rembang petang,
Aku bakar kembali dupa,
Penyulut kesumat muara angkara orang-orang mati;
yang dicacat-lumpuhkan, dibisu-butakan, dihilang-paksakan pedalaman hutan terlarang
pasca penjarahan massal di tengah-tengah ladang dan parit
Menunggu keluar dari pertapaan, mengheningkan doa di malam yang bertaring
Menziarahi air mata dan mata air yang kian mengering

Rembang petang,
Langit meradang,
Kurapalkan kembali mantra, pemanggil arwah orang-orang kalah dalam sengketa
Menggentayangi tenda-tenda pengungsi dan kebun
Memberi nyawa pada kata-kata, cangkul dan celurit
Menyumpahi nyalak bedil dan sepatu lars,
yang menyeret mereka ke dalam kandang serupa pesakitan

Sepadan pembalasan, seimpas perlawanan



27 Agustus 2015

Pulang


Akhirnya, daun yang bertuliskan namanya itu menguning, merapuh
Kemudian perlahan-lahan jatuh; dari pohon itu, yang konon berada di langit ketujuh
Tepat ketika ia duduk bersimpuh
Dan lalu, keningnya menyentuh tanah berpeluh
Dalam sujud penuh kerendahan, yang melumat segala angkuh

Akan kuceritakan perihal ia yang menggebu merindu Sang Kekasih
Bahwa telah lama ia terpaut kerinduan yang memanggil
Dan oleh karenanya, selama ini, ia berjalan menuju rumah Sang Pujaan
Untuk dapat bersua dan melepas duka
Agar bisa mengadukan luka; memeluk cinta

Walau begitu, langkahnya tak pelak bernestapa dalam derita,
Perjalanan mencari di berbagai sudut persimpangan
Yang akan mengantarkan entah kemana

Kadangkala dilihatnya serumpun bakung menggoda;
dalam kumpulan kembang setaman,
mata air dan fatamorgana

Akan tetapi, hasrat rindu tak hendak menunggu lama,
Sang Kekasih pun terus saja memanggil-manggil nama
Meski harus ia menelan pahit prahara;
Gunung air mata dan badai bencana
Tentu saja, cinta memang harus diuji kesetiaannya!

Dan maka, suatu ketika; pada jingga sepotong senja
Tiba ia di rumah Kekasih dipuja
Suka citalah ia, menarilah ia; sekedar melepas dahaga

Sampai kemudian, tenang dirinya, tercengang ia dalam tanya
Seolah ada yang terlupa, tersadar; dan tak asing dikenalinya
Bahwa, selama ini ia hanya mencari-cari rumahnya saja



24 Agustus 2015