Monday, March 10, 2014

Masa Menyenangkan itu Bernama Kenangan



Dua minggu yang lalu saya dan seorang kawan melakukan perjalanan impulsif. Saking impulsifnya bahkan dengan tanpa persiapan dan perencanaan spesifik. Melalui jalur darat, perjalanan dari Lampung menuju Kediri memakan waktu yang cukup lama. Meski tujuan jelas, tetapi akan menjadi merepotkan jika tanpa konsep terencana ala manusia modern bernama itinerary.  Dan karena minim informasi sekaligus serba mendadak, kami sukses tertimpa serangkaian peristiwa semi krusial di jalan.

Inisiatif semula hanyalah mengisi waktu liburan, dan setelah berbagai macam diskusi maka dipilihlah Kampung Inggris sebagi destinasi. Setelah melewati serangkaian peristiwa melelahkan, pada minggu pagi kami sampai di office Mr.Bob Pare, Kediri.

Dulu, saya ingat saat pertama kali mendengar tentang Kampung Inggris, hal pertama yang terbayang adalah sebuah desa (dalam arti harfiah) sebagai sebuah area pengembangan kursus bahasa Inggris dengan keindahan alam yang memiliki banyak pengunjung dimana mereka akan berbicara berbahasa Inggris dimana pun.

Tetapi ternyata ekspektasi saya salah, tidak ada bukit-bukit dan sungai yang mengalir disana. Tetapi sepenuhnya tidak mengecewakan, justru Kampung Inggris menyuguhkan hal yang berbeda. Kampung Inggris memiliki lingkungan yang baik. Tempat yang tepat--dengan segala akses dan fasilitasnya, untuk meningkatkan keterampilan berbahasa. Dan tentu saja, berlibur di sana memiliki banyak manfaat dari segi kompetensi dan pergaulan. Karena kalian akan berada dalam sebuah komunitas yang memiliki motivasi yang sama, belajar! Selain itu, bertemu kawan-kawan baru –dari latar belakang berbeda, adalah bonus.

Jika dilihat secara administratif, Kampung Inggris terletak di kecamatan Pare dengan beberapa desa yang berpotensi sebagai area pengembangan kursus Bahasa Inggris, terutama Desa Pelem dan Tulungrejo. Selanjutnya, orang-orang menyebut Kampung Inggris untuk merujuk kepada Pare. Dan sebagai efek dari pengembangan bimbingan belajar ini, banyak bermunculan tempat penginapan dan kost yang menampung pelajar dengan harga yang bervariasi.

“Spesialis terapi ngomong Inggris + pendongkrak PD”
Begitulah bunyi kalimat yang terbaca di poster saat pertama kali saya sampai di office Mr.Bob. Beruntung, kami sampai di waktu yang tepat. Tidak perlu waktu lama untuk melakukan registrasi. Dengan ramah, Mas Agung melayani calon member yang mengantri serta memberikan informasi dan rekomendasi tentang penyewaan fasilitas yang baik disana.

Kami tinggal di camp 4. Sebuah camp yang terluas disitu, dan dihuni oleh sebanyak 20 orang member yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Semuanya bersahabat. Kompak. Di waktu senggang kami sering melewati waktu bersama di camp. Dan kekeluargaan pun tumbuh.

Hari pertama di Kampung Inggris, dimulai dengan bertemu sahabat-sahabat baru di kelas dan belajar dengan cara yang menyenangkan. Mr.Bob memiliki metode belajar yang fun, rileks, dan tetap fokus. Kami sering melakukan game-game seru yang mengasah imajinasi dan kreativitas.

Selain program utama berdasarkan paket yang kita pilih, ada 2 program harian bernama; morning class dan night class. Pada morning class kita dilatih untuk menulis diari berbahasa Inggris secara konsisten setiap paginya. Program ini berfungsi untuk menstimulasi kemampuan linguistik kita dalam mengkomunikasikan sesuatu ke dalam tulisan. Selain itu, tentu saja untuk memperbaiki kemampuan grammar dan diksi dalam kepenulisan. Sementara di night class, kita akan ditantang untuk percaya diri untuk public sharing di depan umum. Topik yang ingin dibicarakan tidak dibatasi, asalkan berbahasa Inggris.

Beberapa momen berkesan yang saya alami adalah di kelas. Saya ingat ketika berada di kelas Speak Up 2. Sista, (tutor kami) sering membuat game yang selalu berhubungan dengan motivasi hidup. Disana saya belajar banyak. Belajar untuk merumuskan mimpi. Belajar menata mimpi lebih spesifik. Dan berani menulis dan menceritakannya kepada kawan-kawan sekelas (dengan berbahasa Inggris). Dan kami mengapresiasi satu sama lain. Bahkan mungkin seaneh apapun mimpi kita. Walau mungkin terdengar tidak realistis. Tetapi bukankan mimpi pada awalnya adalah hal yang asing bagi kenyataan, sama seperti Wright Brothers yang bermimpi menciptakan sebuah mesin yang dapat membawa manusia terbang bebas di angkasa bernama pesawat terbang? Maka kami belajar untuk berani memimpikannya. Sista telah mengajarkan kami untuk berani bermimpi setinggi langit.

For the words, impression, memories, and all the things that we have been through, thank you lovely!

Pecahan Memori

Pada akhirnya setiap momen hanya akan menjadi memori masa lalu. Se-emosional apapun masa lalu dikenang, ingatan tetap tidak akan mengembalikan waktu-waktu yang hilang.

Rotasi bumi menuju tengah malam. Kami duduk di pojokan taman kota. Menikmati kopi panas dan berbincang banyak hal. Walaupun cuaca di bulan-bulan penghujan malam ini lebih memberikan kesan kesenduan dari pada waktu yang tepat untuk berkumpul. Tetapi saya betah berlama-lama duduk. Entah apa yang kami rayakan. Mungkin kebersamaan selagi kami masih saling mengenal. Aktivitas seperti ini mengingatkan saya pada Stasiun Tugu, Malioboro, Jembatan Kali code dan seluruh pojokan Jogja bagian mana pun yang pernah kami singgahi berikut dengan seluruh pernak-pernik dan suasana artifisial keramaian malam. Momen serupa. Duduk-duduk. Menyapa hedonisme malam dan memperbincangkan banyak hal dari sudut pandang tidak biasa. Saya, dan beberapa kawan waktu itu yang entah bagaimana mereka sekarang. Ya, entah bagaimana mereka sekarang.

Saya sepakat kata-kata seseorang yang saya kenal, “ada yang penting sekaligus mubazir dalam hal mengenang waktu”. Kemubaziran yang adil ketika kita menyadari bahwa hidup sesungguhnya hanyalah sekedar “numpang lewat”.  Terdengar absurd. Tetapi memang begitulah kenyataannya. Perjalanan hidup merelokasi kita dari setiap episode kehidupan ke episode selanjutnya. Waktu berlalu, episode berganti dan mengubah setiap orang yang ditemui menjadi orang lain kembali setelah sebelumnya saling mulai mengenal sebagai orang lain. Waktu mempertemukan wajah-wajah asing, ide-ide asing, emosi yang asing untuk kemudian melupakannya sebagai sesuatu yang akan menjadi asing bagi kehidupan selanjutnya.

Seperti banyak hal di muka bumi ini, kelak tak lagi sama. Meregresi nilai-nilai yang pernah memiliki romantismenya sendiri. Entah ini sebuah fase atau memang manusia ditakdirkan untuk memiliki sebuah kehilangan. Kehilangan berbagai macam jenis romantika bahkan momen heroik yang seiring pertukaran posisi matahari dan gulita selalu melahirkan romantika baru sekaligus kehilangan yang baru.

Maka sebelum semua itu terjadi, kami hanya harus bersandiwara menghayati momen ini. Tak perlu sedalam-dalamnya, hanya sesederhana mungkin. Berusaha meninggalkan kesan yang cukup layak untuk diingat dan berpura-pura menerima. Walau toh pada akhirnya, kami hanya akan menjadi orang lain.

Suatu saat orientasi hidup hanya akan menciptakan jarak. Dan melumat segala kesah malam ini.

Jari Yang Menunjuk Ke Bulan

Ada sebuah analogi tentang jari yang menunjuk ke bulan. Mereka mencari keindahan. Keindahan sesungguhnya adalah bulan itu sendiri, jari hanyalah apa yang disebut sebagai "petunjuk kepadanya".

Tetapi manusia kadang malah cenderung terkonsentrasi pada jari yang menunjuk ke bulan. Mengaguminya, memujanya, bahkan menyembahnya dengan memakaikan cincin dan aneka perhiasan. Kekaguman ini berubah menjadi kebutaan.

Suatu kali ketika langit menjadi gelap, sangat gelap, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih gelap, semua jari serentak menunjuk ke arah yang berbeda-beda.

Beautiful Nightmare

Tadi malam saya bermimpi saya mati. Mimpi yang aneh (iya, saya tahu mimpi tidak ada yang tidak aneh). Tapi tidak ada mimpi yang saya ingat yang lebih ganjil dari mimpi semalam. Bukan karena mimpinya keterlaluan tidak logis, seperti mimpi-mimpi saya biasanya dimana saya sering bertemu orang-orang yang saya tidak yakin pernah mengenalnya dan setting tempat yang entah berada di mana, tetapi karena mimpi saya semalam sangat-sangat kontradiktif.

Biasanya dalam mimpi kita melihat dari sudut pandang orang ketiga. Walaupun saya bisa melihat diri saya disana, tapi saya juga merasa posisi saya sebagai tokoh utama disana. Sangat sulit menceritakan ulang sebuah mimpi. Tapi kira-kira ceritanya begini.

Settingnya berada di rumah. Tiba-tiba saya mati. Selanjutnya yang saya tahu, keluarga saya berduka tetapi saya justru merasa sangat bahagia. Saya tidak ingat apa yang selanjutnya terjadi, angan saya serasa melayang. Walaupun kenyataannya saya mati dalam dunia mimpi tapi saya bisa merasakan sensasi ketenangan. Saya merasakan emosi itu begitu nyata. Mungkin tidak ada kata yang paling representatif untuk menjelaskannya, tapi itu sejenis perasaan aneh yang serupa dengan ketika kita kembali ke tempat tidur setelah melewati hari dengan beban tugas terberat dalam hidup. Lepas dan lega. Sampai saya terjaga dari tidur saya masih merasakan sensasi itu.

Saya ingat kata seorang teman “konon kalo kita mimpi seseorang meninggal, itu artinya seseorang itu akan panjang umur”. Itu terdengar oxymoron bagi saya. Saya pikir, mimpi adalah citra yang melibatkan visi dan emosi yang dihasilkan oleh aktivitas pikiran ketika kita tertidur. Meminjam istilah seorang kawan-- mimpi adalah sejenis manifestasi dari kecemasan, harapan, dan berbagai ide dan emosi manusia yang tervisualisasikan dalam alam khayal. Ketika itu saya diam. Bagaimana mungkin visi alam bawah sadar saya mengatakan bahwa saya meninggal tetapi juga berarti saya akan hidup lebih lama.

Saya bukan jenis orang yang percaya bahwa mimpi berkorelasi dengan apa yang disebut oleh manusia sebagai firasat. Beberapa mungkin terlalu dimaknai penting, pada kenyataannya mimpi hanyalah produk kreativitas otak yang mewarnai tidur kita. Tapi mimpi semalam benar-benar membahagiakan.

Pada Suatu Saat Nanti

Pada suatu saat nanti,
Aku ingin beristirahat saja seperti mimpi
Pergi ke negeri yang tak butuh definisi
Dalam ruang dimensi sejuta misteri

Bila waktunya nanti,
Aku akan menghilang sendiri
Menyingkir dari eksistensi diri
Lunasi cerita yang telah pernah ku lakoni

Andai waktu tepati janji,
Aku akan ikut dia pergi
Ke tempat yang lain dari sini
Ke waktu yang bukan hari ini

Kala tiba saatnya datang,
Aku benar-benar akan tenang
Ataukah, aku jadi meradang?
Saat ku tahu, konsekuensi masih saja menghadang



Maret 2014