Monday, January 25, 2016

Dialog Dini Hari & Moksa Lima Simfoni



Ada banyak cara berkenalan dengan hal-hal yang kelak kalian sukai. Di era 90’an, orang-orang yang menaruh minat terhadap musik terbiasa saling bertukar-pinjam mixtape dan berbagi informasi dengan lingkaran mereka tentang band-band favoritnya. Musik hanya akan dapat didengar dan didapat dalam medium yang berbentuk fisik. Lalu kemudian muncul masa dimana teknologi memberikan keajaiban. Melahirkan berbagai format audio serupa mp3, FLAC, MPC dan seterusnya yang dengan mudah kalian dapatkan tanpa harus membeli secara komersil. Tidak hanya membuat lagu-lagu rekaman yang direkam dalam bentuk kaset kehilangan popularitasnya, namun mengubah cara-cara konvensional dalam berbagi dan bercerita menjadi serba praktis dan cepat. Karena, apa sih yang tidak bisa kalian dapatkan di lautan informasi kolosal bernama internet?

Beberapa hari yang lalu saya mampir di rumah seorang kawan.  Sore hari. Ketika laptopnya memutar sebuah lagu yang langsung saya sukai. Lagu yang saya dengar itu ternyata berjudul Manuskrip Telaga. Sepanjang lagu didominasi dengan denting petikan gitar dan diisi vokal yang tenang dengan syair yang membawa imajinasi saya melayang ke negeri dimana terdapat taman yang luas, sungai-sungai mengalir, burung-burung yang minum di sebuah telaga dan bayangan-bayangan sejenis tentang arti sebuah “kedamaian”. Lagu lain tidak banyak berbeda, Aku Adalah Kamu, yang saya dengar selanjutnya, tetap didominasi petikan gitar diiringi ketukan sederhana yang teratur dan instrumen-instrumen yang bermain sedemikian rupa menjadi kesatuan yang harmonis.
  
Selanjutnya saya mengetahui bahwa band itu bernama Dialog Dini Hari. Sebuah band beraliran folk/blues yang dimotori Dadang SH. Pranoto. Dari informasi di internet, Dadang, atau yang akrab disapa Dankie, sebelumnya dikenal sebagai gitaris band grunge asal Bali bernama Navicula. Saya tidak pernah mendengar band ini sebelumnya. Dan jika mereka eksis di era-era 90’an, maka saya adalah generasi kemudian yang tidak pernah menikmati lagu-lagu salah satu band Indonesia di zamannya pada waktu dimana musikalitas musik Indonesia benar-benar berkulminasi.  Jika dalam band sebelumnya yang beraliran grunge pastilah dia bermain keras dan cadas, namun dalam Dialog Dini Hari Dadang bertransformasi menjadi sosok “Pohon Tua” dimana dia lebih mengeluarkan sisi spiritual nan halus dalam lirik dan musiknya.

Saya mendapatkan koleksi beberapa single dari Dialog Dini Hari di folder laptop seorang kawan. Dua, tiga lagu berasal dari album kedua. Dalam folder tersebut memang berisi kumpulan lagu-lagu Dialog Dini Hari yang berasal dari single dan album secara acak dan disimpan dalam satu folder. Kemudian saya melakukan hal untuk melengkapi koleksi tersebut dengan sebuah metode ala manusia modern: browsing.  

Album kedua Dialog Dini Hari adalah perwujudan perenungan panjang penulisnya. Di album ini, lirik-liriknya lebih bercerita (berpuisi, atau apapun itu) tentang keindahan agama, tentang bagaimana melihat Tuhan, dan pemahaman spiritual dari perspektif personal yang menyentuh kesadaran universal. Di album ini terdapat lima lagu yang masing-masing judul merepresentasikan lima agama di Indonesia. Lima lagu tersebut adalah: Manuskrip Telaga, Nyanyian Langit, Aku Adalah Kamu, Menutup Tirai dan Lirih Penyair Murung.

Dalam Manuskrip Telaga, betapa barisan syair Sufistik menekankan tentang bagaimana melihat Tuhan dalam diri sendiri dan diri orang lain. Telaga, dipersonifikasikan sebagai Tuhan, --yang memberikan kesegaran dan keteduhan kepada manusia, yang memantulkan cermin diri wajah masing-masing.

Lalu Nyanyian Langit adalah manifestasi mantera semesta dengan denting petikan gitar dan tabla ala India yang bersinergi dan memabukkan manusia pada keheningan doa. Lirik “bersunyi diri tanpa pamrih...” seolah berkata bahwa kesejatian hanya bisa didapat dari pertapaan abadi secara batiniah. Perjalanan hati dalam melakukan dharma agar dapat melepaskan diri dari ikatan yang mengikat manusia pada siklus samsara.

Dan, kalimat; “nyalakan lilin cahaya jiwa…” dalam Menutup Tirai terdengar sangat Kristiani. Diiringi suara penyanyi latar dengan vokal paduan suara ala gereja yang menambah kesan gospel. Dan dalam chorus pertama dan terakhir seolah berbicara tentang situasi apokaliptik yang menanti datangnya Mesiah dimana jiwa-jiwa menyambut untuk diselamatkan.

Album kedua Dialog Dini Hari --dalam pemahaman yang sinis, mungkin dapat dianggap sebagai sikap ide pluralisme agama penulisnya. Namun saya pikir, seperti sebaris syair dalam Manuskrip Telaga, yang mengisyaratkan bahwa kehidupan sejatinya adalah sebuah rumah yang memiliki ruangan universal dengan lima pintu, atau bahkan banyak pintu. Dan setiap pribadi memiliki pintu-pintu sendiri untuk mencapai ruangan tersebut.  Orang-orang mungkin memanggil Tuhan dengan nama yang berbeda. Mengenalinya dengan berbagai sifat yang bermacam-macam. Tetapi mengacu kepada Dzat yang sama. Bahwa pada hakikatnya pintu-pintu tersebut saling bersinggungan dan mengantarkan pada ruangan yang sama. Kesejatian yang sama. Intinya, ada kondisi spiritual dimana pemahaman sejati lebur dalam lautan penghayatan yang luas tanpa batas, yang hanya didapat dari proses "mengalami" dalam perjalanan masing-masing. Tidak dapat disimbol-mutlakkan ke dalam kata-kata, dan atau pun, tidak dapat dihakimi oleh kekerdilan nalar yang terbatas. Bukankah bahkan persepsi kita terhadap Tuhan bagi kita masing-masing pun pasti berbeda?

Maka, serupa Rumi dengan tarian berputarnya, atau Al Hallaj dengan wahdatul wujudnya, setiap kita menemukan keindahan Tuhan dengan pintu yang ada dalam diri sendiri. Yang ternyata lebih dekat dari urat leher kita sendiri.




***

Berikanlah ku nama
Terindah saat kau menyebutnya
Merdu bagai dendang takdir
Senandungkan musim berganti

Pahamilah ucap ku
Seindah yang kau mau
Seteduh perangkai kata
Anggun bersajak cinta
(*)

(*) Dialog Dini Hari - Manuskrip Telaga

Friday, January 22, 2016

Ambrosia



/1

Suatu ketika kata tak mampu merepresentasikan makna
Maka kubiarkan saja warna ini menggoreskan wajah imajinasiku
Tentangmu,
Yang hadir dalam bayang cita esok pagi

Suatu ketika kata tak mampu mencerminkan rasa
Maka kubiarkan saja potret kecil ini berpuisi mengenai rinduku
Terhadapmu,
Yang dirahasiakan malam pada keheningan doa

Suatu ketika,
Kubiarkan tafsirmu memeluk jiwaku; semaumu saja





***

Kita berdua diantara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian 
Untuk datang membawa jawaban (*)


***




2/

Pada mulanya kaulah rindu,
yang setengah mati hendak disampaikan pena
Namun pena terlanjur berkarat; dan diam

Pada mulanya kaulah nama,
yang sekuat tenaga akan diucapkan kata
Namun kata terlanjur tercekat; dan sunyi

Pada akhirnya kaulah cinta,
yang dengan mistisnya menari di sudut hati

Untuk meminta disebut hanya dengan denyut, saja



(*) Payung Teduh -  Berdua Saja

Friday, January 15, 2016

Cermin



Alkisah. Dalam The Giver, ada dunia di mana manusia hidup dalam keseragaman. Sebuah utopia yang sama sekali tidak terdapat perbedaan, tidak ada perkelahian, tidak ada kebohongan, tidak ada warna, tidak ada ingatan, tidak ada emosi; bahkan tidak ada cinta dan rasa sakit. Mereka hidup dalam suatu konsep yang berpola begitu sistematis tanpa ada satu pun celah atau gesekan. Serupa robot yang diprogram untuk menjalani suatu tujuan, mereka hanya mengulang-ngulang hal yang sama setiap harinya. Mereka menerima suntikan serum anti-emosi sebagai dosis harian setiap paginya dan melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Manusia-manusia di sana memiliki profesi dan perannya sendiri. Semuanya bertujuan untuk pelayanan komunitas tersebut. Ada yang bertugas sebagai pilot, ada yang bertugas sebagai perawat bayi, dan seterusnya.  Bayi-bayi di dunia ini dilahirkan secara acak tanpa hubungan reproduksi sebagaimana suami-istri dalam sebuah keluarga. Intinya, mereka tinggal di dunia yang tidak memiliki inisiatif kemanusiaan.

Jonas, tokoh utama film ini, pada akhirnya sampai pada usia dewasa dimana ia akan diberikan tugas sesuai dengan kemampuannya. Dan pilihan tugas tersebut adalah sebagai Penjaga Kenangan. Penjaga kenangan adalah satu -satunya manusia yang boleh memiliki semua kenangan yang seharusnya diketahui oleh manusia. Ceritanya, setelah ratusan tahun berlalu, tak ada manusia yang mengingat kenangan indah maupun pahit kecuali penerima kenangan. Dan penerima kenangan adalah satu-satunya manusia yang memiliki kenangan di masa lalu agar dapat memberi nasehat pada para Tetua komunitas itu ketika dibutuhkan.

Keadaan mulai berubah ketika Jonas memulai masa latihan sebagai Penjaga Kenangan. Sang Pemberi (sebutan untuk Penjaga Kenangan sebelumnya),  menunjukan berbagai hal baru kepada Jonas. Jonas diperlihatkan hal-hal seperti warna, pengetahuan, dan seterusnya. Seperti mentransfer kenangan melalui kabel USB, Sang Pemberi memberikan kenangan masa lalu kepada Jonas melalui sentuhan tangannya.

Lalu, ketika “mengenang” gambaran-gambaran itu, Jonas mulai dapat merasa. Ketika “di-perkenang-kan” kenangan yang berupa gambaran tentang sepasang kekasih yang sedang menari, keluarga yang sedang berkumpul, dan anak-anak yang bermain, Jonas merasakan bahagia. Dan ketika diperlihatkan gambaran tentang unjuk rasa, perang, dan kejahatan, Jonas merasakan ketakutan.

Sampai suatu ketika Jonas dapat “merasakan” sesuatu kepada teman masa kecilnya, suatu perasaan yang selama ini tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun dalam masa-masa selanjutnya Jonas akhirnya mengerti bahwa bukan hanya rasa gembira yang ada, tetapi juga rasa sakit dan sedih.

Pada akhirnya, Jonas melihat sebuah fakta yang mengerikan di dunianya, dimana bayi-bayi yang tidak sesuai standar yang berlaku akan dibunuh begitu saja. Hal yang lebih menyedihkannya lagi adalah mereka yang melakukan pembunuhan tersebut tidak mengerti apa yang dia perbuat adalah “membunuh”, tetapi apa yang mereka sebut sebagai “melepaskan”. Dan kemudian, seperti layaknya sebuah film kebanyakan, berbekal pengetahuan dan keyakinannya terhadap kebenaran, sang tokoh utama memutuskan untuk mengubah dunianya dengan cara mengungkapkan kepalsuan yang selama ini disembunyikan oleh Tetua komunitas tersebut.

***

Dalam sumbangan pemikirannya, Lacan menganggap ketidaksadaran sebagai entitas yang memiliki struktur, seperti bahasa dan semiotika.  Linguistik, menurut Lacan, dianggap masuk akal dalam menjelaskan ketidaksadaran. Ketidaksadaran menurut Lacan adalah rangkaian penandaan. Ketidaksadaran mengkondensasi dirinya lalu melakukan pemindahan, hal ini dikaitkan dengan metafora dan kiasan. Lacan menyinggung tiga konsep penting, yaitu; kebutuhan, permintaan, dan hasrat. Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang nyata, yang imajiner, dan yang simbolik.

Yang nyata adalah dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang belum terbahasakan, yaitu; wilayah gelap yang tidak diketahui oleh manusia. Atau dengan kata lain, yang nyata adalah suatu wilayah psikis yang belum ada keterpisahan, tidak ada bahasa, tidak ada kehilangan. Ia merupakan suatu kondisi kesatuan dan kepemenuhan, yang intinya, tidak dapat dimediasi oleh bahasa. Selanjutnya, yang Imajiner adalah masa identifikasi diri. Menurut Lacan, fase ini bersinggungan dengan tingkatan selanjutnya, yaitu yang simbolik. Lacan menggambarkan sebuah ilustrasi dalam fase ini sebagai kondisi dimana seorang bayi yang melihat pantulan dirinya di cermin dan menyadari bahwa gambaran tersebut baik sebagai dirinya sendiri maupun bukan dirinya (hanya imaji yang terpantul).

Selanjutnya, tatanan simbolik, ditandai dengan adanya konsep hasrat. Simbolik juga menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek yang berbicara untuk menjadi “aku” dan berkata sebagai “aku” untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Ia merupakan kerangka impersonal yang berlaku dalam masyarakat, sebuah arena dimana setiap orang mengambil tempat di dalamnya. Tatanan simbolik merupakan ranah makna sosial, logika dan diferensiasi yang di terima --di dalam dan melalui itu, individu mulai menampilkan keinginan dan karenanya membentuk sebuah subjek manusiawi.

***

Dalam tingkatan simbolik, individu akan terjun dan terjebak dalam sebuah sistem simbolik. Sistem simbolik adalah realitas yang diungkapkan melalui bahasa. Di titik ini individu menyadari subjektivitasnya sebagai “aku”. Dan seiring dengan terintegrasinya manusia dengan bahasa, manusia hanya akan selalu merasakan kekurangan dan kehilangan. Artinya, manusia akan terus mencari apa yang ideal bagi dirinya. Ia akan mengidentifikasikan makna dan konsep secara terus menerus tanpa henti. Mengidentifikasi dan menemukan. Menemukan dan memaknai. Memaknai dan mengidentifikasi. Apa-apa yang didengar, dilihat dan dirasakan akan membentuk konsep simbolik di dalam kepala kita. Kemudian melahirkan makna baru lagi yang terselip dibalik simbol-simbol yang coba diidentifikasi oleh individu. Segala simbol adalah perkara semiotika. Dan segala yang semiotik hanya akan memproduksi penanda baru, tingkat pemaknaan baru, dan makna-makna baru. Terus menerus.

Secara metafor, sebelum Jonas dapat merasa dan memaknai, ia berada dalam tahapan dimana tidak ada jurang sama sekali terhadap apa yang kita sebut sebagai yang ideal. Tidak ada ukuran terhadap itu. Jonas hanya mengikuti pola, mengikuti pola, dan mengikuti pola. Tidak ada inisiatif kemanusiaan, tidak ada ego manusiawi. Jonas hanyalah sebuah robot yang tidak dapat memproduksi perasaan dan gambaran di dalam diri dan kepalanya tentang dan terhadap suatu hal. Dan semua berubah ketika dia menerima kenangan dari Sang Pemberi--yang secara simbolik, menyadari “keakuannya” sebagai subjek manusiawi yang dapat merasa dan menerka. Yang selanjutnya berubah menjadi individu yang berinisiatif, berkeinginan, dan berharap.

Seperti yang telah diceritakan di atas, setelah menerima semua kenangan masa lalu, Jonas merasakan suatu “perasaan” kepada teman masa kecilnya yang bernama Fiona. Sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia-manusia di komunitas itu. Sesuatu yang tidak terdefinisikan secara kolektif. Dan tidak memiliki makna yang bertingkat-tingkat, karena hanya Jonas yang dapat mengidentifikasi, memahami, dan memaknai “sesuatu” tersebut. Pada akhirnya, dia mengerti bahwa apa yang dia rasakan adalah cinta. Dan Jonas merasa sedih ketika Gabe (seorang bayi yang merupakan adik angkatnya yang diserahkan kepada keluarganya) hendak dibunuh oleh Tetua komunitas. Selanjutnya Jonas mati-matian berusaha menyelamatkan Gabe dari incaran orang-orang komunitas yang memburunya.  Di titik ini kita menyadari bahwa apa yang Jonas alami adalah bentuk dari afeksi dan simpati.

Tapi benarkah kesedihan dan kesenangan Jonas adalah entitas yang secara objektif bermakna sebagai entitas itu sendiri? Ataukah bentuk dari subjektivitas kemanusiaan yang dirasakan, dimaknai, dan dipahami secara personal oleh Jonas sendiri?

Saya ingat kata-kata seorang kawan, “ketika kita jatuh cinta, sebenarnya kita sedang mengagumi perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri kita.” Artinya, ketika kita jatuh cinta kepada seseorang, sesungguhnya kita bukanlah sedang mencintai seseorang itu. Tetapi justru mencintai diri kita sendiri yang mengalami perkembangan yang secara psikologis melalui tahapan ke arah sesuatu yang kita anggap ideal.

Saya justru lebih suka memaknai dengan pemahaman yang lain. Seperti bayi yang melihat bayangannya sendiri di cermin, seringkali kita melihat objek sebagai pantulan yang dibentuk oleh pikiran kita sendiri. Maka, ketika kita jatuh cinta kepada seseorang, kita hanya membentuk citra tentang dirinya di dalam kepala kita sebagai sesuatu yang ideal dan kemudian setengah mati mencintai citra tersebut, dan justru bukan pasangan kita sendiri sebagai objek yang utuh.

Serupa Jonas yang menangisi Gabe, kita seringkali menganggap kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan kita sebagai suatu ancaman. Kita membentuk premis-premis sedemikian rupa sebagai rujukan dan alasan yang kita akui dengan pembenaran subjektif bahwa apa yang terjadi adalah sesuatu yang layak untuk ditangisi. Dan serupa Jonas yang menangisi Gabe, kita meratapi kehilangan yang pada dasarnya adalah kita meratapi diri sendiri yang “merasa” kehilangan --karena premis-premis tertentu, dan justru bukan meratapi yang hilang itu sendiri.

Maka dalam bahasa yang sederhana; kesenangan dan kesedihan hanyalah produk dari egoisme masing-masing.