Friday, August 31, 2012

Beberapa Kalimat Tentang Kematian

Dalam kalimat-kalimatnya kepadaku ia pernah berkata,
“Seperti sebuah lomba lari, kita mungkin jauh tertinggal, tapi yang memulai start lebih dulu belum tentu lebih dulu sampai garis finish, kawan. Kita masih di perjalanan”.
“Hidup tak perlu panjang, tapi ia harus dijalani semampu kita bisa”

Aku tidak begitu mengerti apa yang dimaksudnya dengan “garis finish”. Mungkin baginya itu kata kiasan untuk mewakili kata “target” atau “mimpi”, atau “sukses”, atau apalah itu. Tetapi aku malah menginterpretasikannya sebagai “kematian”.

Ia bicara tentang harapan, tentang semangat yang tak boleh redup, tentang perlawanan yang tak boleh puput. Sebuah kalimat yang diucapkan kepadaku ketika batu karang sempat menyandung langkahku, dan langkahku terhenti pada situasi dimana jurang menganga dihadapanku, membuat tertinggal dari langkah-langkah mereka yang semakin mendahuluiku tanpa memberi kesempatan untuk sekedar menghela nafas.

Apakah kita memang mengerti arti hidup? Dia yang mengatakan itu padaku, bahwa hidup memang harus dijalani sesederhana itu.

Dia tak pernah menjawab secara rinci. Hari-hari bersamanya kulewati bertahun-tahun lalu. Fase dimana kami belajar mengepakkan sayap remaja yang coba beranjak. Hari-hari masih belum sehitam sekarang. Masa putih abu-abu yang membosankan.

Lalu kemudian muncul hari-hari dimana kami mengepakkan sayap di kota berbeda. Menempuh jalannya masing-masing. Hanya waktu idul fitri atau libur semester mempertemukan kami.

Sinar mentari yang masuk melalui celah jendela kamar tingkat dua. Situasi sebuah ruangan yang kerap jadi markas bersua kami. Sekedar bertamu. Saling sapa, duduk-duduk, mencicipi khasnya kopi hitam yang diseduh olehnya. Saling tukar tanya. Kemudian terlontar obrolan remeh-temeh dari seputar kuliah sampai Nietzsche, dari sosial-masyarakat sampai kejamnya kehidupan yang kami tertawakan.

“Kita tidak apa-apa, kawan” katanya seraya menyeruput kopi hitam yang tersaji di depannya.
Namun selintas, kulihat guratan-guratan wajahnya menyimpan kegelisahan.

Bicara tentang hidup dan kehidupan adalah bicara tentang apa yang kau lakukan untuknya. Alasan yang membuat dirimu diakui ke-eksistensian-nya dalam hidup dan kehidupan ini. Tentang kontribusi. Tentang prestasi. Atau apalah itu. Karena itu akan menjadi sebuah cerita di semesta ini. Maka sejarah mencatat, manusia paling dikenal adalah mereka yang tegas memilih jalannya sendiri. Menjadi Gandhi atau Hitler. Perbaikan atau kerusakan. Atau setidaknya harakiri serupa Ikarus. (Yah, di bawah sana memang terlalu membosankan). Adalah hal yang sia-sia kau tak melakukan apapun. Kau tak akan menjadi pengaruh bagi keberlangsungan umat manusia yang mulia ini. Kau tak akan menjadi protagonis. Bahkan untuk ceritamu sendiri.

“Ck ck, yaah. Kita memang tidak apa-apa, kawan...”

Monday, August 27, 2012

Ruh Kelana

Bersemayam dalam tubuh ini ruh kelana
Bersarang didalamnya berjuta Tanya
Dimana? pada awalnya ia bermula
Kemana? pada waktunya akhir kelana

Belum lagi ianya bersua hasil
Nyanyian bimbang itu mengutuk bak laknat azazil
Menghujam serupa ababil menabur kerikil
Aku ingin berontak seperti Qabil

Mereka memburu, merasuk, mencekik
Mempertanyakan eksistensi
Yang tak luput dari konsekwensi
Kemanakah ringkih jiwa harus mencari

Atau dimanakah tempat sembunyi
Sedang aku masih disini,
seperti orang buta dalam sepi


Agustus 2012