Friday, September 14, 2012

Secangkir Kopi

“Wahai, deretan angka dan rotasi jarum penunjuk, jangan biarkan aku menjadi lupa di tengah pacuanmu yang memburu..”

Secangkir kopi. Terang saja ada banyak sekali jenis minuman kopi di dunia, tentunya dengan rasa yang berbeda-beda. Mulai dari cappucino, latte, espresso, macchiato dan entah apa lagi. Dan secangkir kopi itu yang menyatukan kami. Perkenalan bermula ketika kami berada dalam sebuah institusi pendidikan yang sama. Berada di lingkungan baru, konon waktu itu aku tidak memiliki teman. Ah ya, dunia dan segala isinya. Terkadang kau harus memberikan jalan kepada orang lain yang ingin lewat, atau sekedar memberikan tempat duduk pada seseorang disebelahmu. Dan apa itu? Hubungan antar manusia? Salah satu keniscayaan kehidupan yang menjadi kelemahanku. Dan yah, dia satu-satunya kawan yang tidak menjadi sebagai orang asing dalam pertemuan pertama kami.

Yogyakarta adalah takdir dimana aku membuka mata. Sementara sebelumnya aku melambaikan punggung pada Lampung. Dia berasal dari daerah yang berbeda. Sebuah pulau di penghujung pulau Jawa bagian timur. Pertemanan berlanjut mengantarkan kami pada hari-hari dimana kami sering bersama. Kebersamaan di kampus. Kebersamaan menolak menghamba pada dunia yang menengadah angkuh. Meski akhirnya pilihan hidup kemudian mengantarkan kami pada jalan yang berbeda. Ah, Yogyakarta hanyalah tempat pertemuan.

Aku ingat betul semua memori tentang itu. Sekedar menghabiskan malam di riuhnya kesibukan kota. Duduk-duduk. Menyapa hedonisme keramaian malam. Di lorong trotoar Stasiun Tugu. Sastra, sosial, filsafat. Apapun namanya itu, terkadang bangku taman dan trotoar harus rela kami duduki berjam-jam lantaran kami yang berdiskusi atau mengobrol remeh temeh (oh kawan, meski terkadang beberapa hal yang tidak aku mengerti.) Jelas –dalam beberapa hal, kami berada dalam pandangan yang berbeda. Namun isi batok kepalanya memiliki gagasan-gagasan yang luar-biasa. Aku mengaguminya. Bagaimana perspektifnya dalam memandang spektrum kehidupan. Ada kesamaan hal yang tidak membedakan kami, manusia dengan kegelisahaan batinnya yang melahirkan pencarian, pencariannya masing-masing.

“Dan apa sesungguhnya yang kau cari?”

“Entahlah, seperti Ibrahim dalam perjalanannya, mungkin...”

Aku tidak tau seberapa sering manusia melakukan monolog pada umumnya. Bentuk monolog itu bisa menjadi dialektika dengan diri sendiri, introspeksi, atau pertanyaan yang dilengkapi pertentangan batin. Dan pada saat itulah pertanyaan muncul tentang,

“Yang mana diri kita sesungguhnya ketika kita berbicara pada diri sendiri?”

Entahlah! Tak harus ku jawab itu. Aku hanya butuh meneguk kopi ku pelan-pelan. Tidak apa-apa, bahwa terkadang pahit itu harus dinikmati. Ah, aku menyukai kopi karena aku menyukainya. Aku bukanlah tipe manusia yang peka dalam menginterpretasikan sesuatu, apalagi jika harus memaknai arti filosofis di dalamnya. Tapi dengan secangkir kopi, aku bisa melihat diriku. Aku mulai mengenali diriku. Secangkir kopi. Secangkir kopi yang selalu melarutkanku dalam sunyi. Secangkir kopi yang melahirkan obrolan tentang semesta. Secangkir kopi dan pencarian. Aku tenggelam dalam pertanyaan.

Sementara malam semakin ramai. Dan seniman jalanan masih tetap menyanyikan syair-syair lirih senandungnya. Pengemis meminta-minta di lampu-lampu merah. Pemabuk menghayak botol di pojokan Malioboro. Pelacur bersolek.

 “dalam diriku mengalir sungai panjang,
                                                            darah namanya;

dalam diriku menggenang telaga darah,
                                                            sukma namanya;

dalam diriku meriak gelombang sukma,
                                                            hidup namanya;

dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya”
(-Sapardi Djoko Damono)